Politisasi Pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan dalam perkembangannya
sampai saat ini telah diwarnai berbagai macam paradigma. Pendalaman terhadap
ilmu pendidikan yang dilakukan oleh para tokoh pemikir yang respect terhadap
dunia pendidikan telah menghasilkan banyak teori dan pandangan baru terhadap
dunia pendidikan. Baik dari segi hakikat atau pengertian, system, peranan,
fungsi dan banyak hal-hal lain yang berhubungan dengan dunia pendidikan yang
berkaitan pula dengan unsure-unsur dan para subyek dalam dunia pendidikan.
Dalam dunia pendidikan tidak dapat
dinafikkan adanya unsure kepentingan. Baik dari para pengambil kebijakan,
tenaga kependidikan dan si terdidik. Kepentingan mempunyai arti yang luas.
Dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang mendorong untuk melakukan suatu
perbuatan. Dalam konteks dunia pendidikan, kepentingan merupakan pengambilan
keputusan oleh suatu pihak terhadap suatau hal yang berkaitan dengan dunia
pendidikan yang didorong keinginan untuk menguntungkan dirinya maupun
golongannya.
Dalam
mazhab pendidikan kritis meyakini bahwa adanya muatan politik dalam setiap
aktifitas pendidikan. Hal tersebut sangat seiring dengan realitas yang terjadi.
Kegiatan pendidikan tidak dapat terpisah dari kepentingan politik karena
pengambil kebijakan adalah suatu pemerintahan yang berasal dari suatu kompetisi
politik yang mempunyai kepentingan politik pula.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan Politik dan Pendidikan
Pendidikan
dan politik adalah dua eleman penting dalam system social politik di setiap
Negara,baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya saling melengkapi
dan bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu
Negara. Lebih dari itu, keduanya saling menunjang dan mengisi. Lembaga-lembaga
dan proses pendidikan berperan penting dalam pembentukan perilaku politik
masyarakat di Negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan
proses politik di suatu Negara membawa dampak besar pada karakteristik
pendidikan di Negara tersebut.
Dalam
hubungan tersebut, maka kedua unsure politik dan pendidikan mempunyai
keterkaitan dalam setiap langkah yang diambil dan dilaksanakan.
Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan dalam dunia pendidikan tidak dapat
terlepas dari kebijakan-kebijakan politik yang diberlakukan oleh para pelaku
politik atau para petinggi pemerintahan yang tentunya mempunyai background
suatu partai politik.
Di
Negara-negara barat, kajian tentang hubungan antara pendidikan dan politik
dimulai oleh Plato dalam bukunya Republik.
Walaupun utamanya membahas berbagai persoalan kenegaraan, buku tersebut
juga membahas hubungan antara ideology dan institusi Negara dengan tujuan dan
metode pendidikan.
Plato mendemonstrasikan dalam buku
tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan
yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Ia menjelaskan bahwa setiap budaya
mempertahankan control atas pendidikan di tangan kelompok-kelompok elite yang
secara terus menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama, dan
pendidikan. Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas
pendidikan dan aktivitas politik. Keduanya seakan dua sisi dari satu koin,
tidak mungkin terpisahkan. Walaupun sangat umum dan singkat, analisis Plato
tersebut telah meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik dan pendidikan
di kalangan generasi ilmuwan generasi berikutnya.[1]
Menurut teori pendidikan kritis (critical Pedagogy) menyatakan bahwa “ setiap aktifitas dalam pendidikan pasti
memiliki muatan-muatan politik”. Aliran ini disebut sebagai aliran kiri
karena orientasi politiknya yang berlawanan dengan mazhab liberal dan
konserfative.
Teori pendidikan kritis mempunyai
prinsip-prinsip dasar, yaitu:
1.
Pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari konteks social, cultural, ekonomi, dan politik yang l;ebih
luas.
2.
Mazhab pendidikan kritis
berbasis pada keadilan dan kesetaraan.
3.
Pengetahuan tidak dapat
dipisahkan dari proses pembentukannya.
4.
Proses pembelajaran lebih
diorientasikan untuk memahami, mengkritik, memproduksi, dan menggunakan ilmu
pengetahuan sebagai alat untuk memahami realitas hidup dan mengubahnya.
5.
Pendidikan bukan sebagai reproductive force, tapi sebagai productive force, yaitu sebagai media
mobilitas social.[2]
Kebijakan-kebijakan yang berhubungan
dengan pendidikan sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik, yaitu
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pengambil kebijakan yang berasal dari
pihak partai politik yang berkuasa pada masa itu. Pengambilan
kebijakan-kebijakan tersebut tentunya mempunyai suatu kepentingan yang mengarah pada keuntungan bagi pihaknya untuk
mempertahankan eksistensinya.
Pada gilirannya, implementasi dari
suatu kebijakan pendidikan berdampak pada kehidupan politik. Berbagai kebijakan
pendidikan berdampak langsung pada akses minat, dan kepentingan pendidikan para
stake holder pendidikan, terutama orang tua dan peserta didik, dan masyarakat
pada umumnya. Alberthy dan coombe (1965: 287) mencatat empat aspek kehidupan
masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pendidikan yang
dibuat oleh pemerintah, yaitu lapangan kerja, mobilitas social, ide-ide, dan
sikap.
Dalam masyarakat modern pada umumnya,
pendidikan adalah komoditi politik yang sangat penting. Proses dan
lembaga-lembaga pendidikan memiliki aspek dan wajah politik yang banyak, serta
memiliki beberapa fungsi penting yang berdampak pada system politik, stabilitas
dan praktik sehari-harinya. Dalam masyarakat modern pendidikan merupakan
wilayah tanggung jawab pemerintah yang besar. Pendidikan public bersifat
politis karena dikontrol oleh pemerintah dan mempengaruhi kredibilitas
pemerintah. Karena besarnya nuansa politik dari kebijakan-kebijakan pendidikan,
maka berbagai factor politis yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan turut
mempengaruhi bagaimana control terhadap pendidikan dan bagaimana
kebijakan-kebijakan pendidikan dibuat.
Sebagai wilayah tanggung jawab
pemerintah, pendidikan sering dipaksa menyesuaikan diri dengan pola-pola
admnistratif umum dan norma-norma yang berlaku. Akibatnya, pendidikan public
dibiayai dan dikontrol oleh pemerintah seperti pemerintah membiayai dan
mengontrol bidang-bidang lainnya seperti pertanian, kesehatan, atau pelayanan
social.[3]
B.
Kebijakan Politik Pendidikan
Pendidikan merupakan proses perubahan
seseorang dari yang tidak bisa menjadi bisa, atau dapat disebut juga proses
pendewasaan seseorang. Pendidikan bertalian erat dengan proses transfer
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, dan aspek-aspek kelakuan lainnya
kepada generasi penerus dalam masyarakat melalui sebuah interaksi social atau
sosialisasi. Maka sebagai sebuah proses
transmisi kebudayaan antargenerasi dalam masyarakat. Pendidikan akan menjumpai
problem yang signifikan dengan perubahan social yang terjadi dalam masyarakat
tersebut. Secara lebih spesifik, pendidikan diupayakan untuk membentuk manusia
berbudi pekerti luhur, jujur dan berani menghadapi penindasan.
Era reformasi di Indonesia
memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan
baru yang sifatnya revolusioner. Misalnya, sentralisasi kebijakan yang diubah
semangatnya menjadi desentralistis. Kurikulum yang bersifat hafalan menjadi
kurikulum berbasis kompetensi dan seterusnya.
Akan tetapi dari kebijakan-kebijakan
yang dibuat yang mengatasnamakan perubahan atau revolusioner, oleh pengambil
kebijakan yang berunsur politik sebenarnya mengandung suatu kepentingan-kepentingan.
Mereka membuat kebijakan-kebijakan terhadap pendidikan baik yang berhubungan
dengan system maupun teknis yang sebenarnya mempunyai arah tujuan untuk
melegitimasi kekuasaan parati politik yang sedang berkuasa. Kebijakan-kebijakan
tersebut disusun sedemikian rupa, dengan dikemas menarik untuk terlihat seperti
sebuah perubaha. Walaupun kebijakan-kebijakan tersebut secara teori sebenarnya
juga tidak dipungkiri mempunyai arah perbaikan mutu pendidikan.
Fenomena tersebut menurut dapat dikaitkan dengan pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni,
dimana suatu kondisi penguasaan yang tidak disadari oleh objek yang terkuasa.
Pendidikan dilihatnya sebagai alat
untuk mencapai keuntungan-keuntungan ideologis. Karenanya, upaya untuk membalik
sentralisasi menjadi desentralisasi sering runyam di tengah jalan. Propernas
yang sudah baik-baik itu diselewengkan bahkan menjauhi idealitas pendidikan itu
sendiri, untuk tidak mengatakan bahwa pendidikan telah dihancurkan maknanya
sebagai upaya membebaskan manusia dari keterbelakangan dan ketertindasan.
Diantara kebijakan-kebijakan yang
diambil pemerintah terhadap[ pendidikan adalah:
1.
Desentralisasi Kurikulum
Selama pemerintahan orde baru,
kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia bersifat sentralisasi.
Kurikulum pendidikan lebih banyak didominasi oleh keputusan dati atas ke bawah
(top down). Penguasa ingin menanamkan
ideologinya melalui institusi pendidikan dengan dalih stabilitas keamanan.
Kebijakan Sentralisasi pendidikan melahirkan berbagai tindakan yang tidak demokratis.
Kemudian berkembanglah wacana
desentralisasi kurikulum sebagai respon dari kegagalan sentralisasi kurikulum.
Desentralisasi adalah suatu kebijakan otonomi pendidikan terhadap masing-masing
daerah di Indonesia.
Pengembangan kurikulum berdasarkan semangat desentralisasi diharapkan semakin
memberikan kesegaran dalam dunia pendidikan dengan semangat perubahan yang lebih baik.
Dalam dunia pendidikan, kita telah
mengalami beberapa kali pergantian kurikulum. Tahun 1968 diganti kurikulum
1975, kemudian CBSA, dan digantikan dengan kurikulum 1994, kemudian diganti
KBK, dan terakhir kalinya diganti dengan KTSP. Namun sayangnya dari pergantian
tersebut, tidak dijelaskan evaluasi terhadap tiap-tiap kurikulum itu, sehingga
dilihat sebagai suatu kebijakan yang terasa nuansa politisnya.
2.
Kurikulum Berbasis Kompetensi
Pelaksanaan KBK ini banyak
mengandalkan kreatifitas dan profesionalisme guru untuk menyediakan silabus,
termasukmengolah sumber belajar agar penjabarannya sesuai dengan pencapaian
kompetensi yang telah ditetapkan.
Tapi semua itu hanya dapat dicapai
apabila implementasi KBK ini didukung dengan aspek-aspek yang memadai. KBK yang
bersemangat mendidik anak didik mengenal realitas ini akan terlaksana
serampangan jika pengelola pendidikan hanya berfikir mengenai target-target
formal atau sekedar laporan tertulis.
3.
Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS)
Manajemen pendidikan nasional secara
keseluruhan masih bersifat sentralistis sehingga kurang mendorong terjadinya
demokratisasi den desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Manajemen
pendidikan yang sentralisasi tersebut telah menyebabkan kebijakan yang seragam
yang tidak dapat mengakomodasi perbedaan keragaman/ kepentingan/ sekolah/
daerah/ peserta didik, mematikan partisipasi masyarakat dalam proses
pendidikan, serta mendorong terjadinya pemborosan dan kebocoran alokasi
anggaran pendidikan.
Manajemen berbasis sekolah (MBS)
sebagai paradigma baru pengembangan pendidikan berorientasi pada kebutuhan
masyarakat. Konsep itu menekankan pentingnya peningkatan mutu terpadu sehingga
dapat dijadikan kebijakan strategis dalam implementasi pendidikan yang
diprakarsai sekolah dan daerah.
4.
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan
Belum lagi kebingungan ter4hadap KBK,
pergantian kurikulum dilakukan lagi, yaitu ditetapkannya KTSP sebagai kurikulum
pengganti pada tahun 2006. samapai pada saat ini pemahaman tentang KTSP itu
sendiri pun masih sangat minim oleh para tenaga kependidikan.
Perubahan yang dilakukan terhadap
KTSP ini juga dipengaruhi oleh pergantian kekuasaan pemerintahan. Para pengambil kebijakan terkesan hanya ingin
memperlihatkan kemampuan yang dimilikinya dalam segi teori belaka tetapi kurang
terlalu memperhatikan dampak yang akan dialami untuk kedepannya.
5.
Anggaran 20% untuk Pendidikan
Jika dibandingkan dengan
Negara-negara lain, anggaran pendidikan Indonesia memang berada di bawah.
Hal itu merupakan salah satu factor yang mempengaruhi kualitas pendidikan yang
dihasilkan. Para pemerhati dan pelaku dunia
pendidikan kemudian menuntut pemerintah untuk lebih memperhatikan dan lebih
memberikan anggaran yang cukup untuk kebutuhan pendidikan.
Kemudian fenomena tersebut pun
dijaikan komoditas politik yang bias diperjual belikan. Dihembuskan wacana
anggaran pendidikan sebesar 20%, tapi nyatanya tak terealisasi hingga
kini. Presiden Megawati menyatakan dalam
RAPBN akan menganggarkan 24% untuk sector pendidikan, pemuda dan olahraga, atau
ada kenaikan anggaran kurang lebih 19%. Namun berdasarkan laporan dan survey hal
tersebut belum terealisasi.[4]
C.
Pendidikan Yang Demokratis
Pada masa pemerintahan orde baru
system pendidikan masih seperti sebuah kerajaan, dimana semua kebijakan
pendidikan masih terpusat dari atas. Subyek dalam pendidikan bagaikan robot
yang dikendalikan dengan system-sistem yang telah ditentukan.
Namun sebagai manusia yang mempunyai
otak, naluri dan merasa mempunyai hak-hak, mahasiswa sebagai pelopor pemikir
pendidikan yang pada tingkatannya telah mempunyai sikap kritis akhirnya tidak
tahan dengan realitas tersebut. Sehingga p[ada tahun 1998 terjadilah
pemberontakan mahasisswa untuk menumbangkan orde baru dengan semangat revolusi
dan reformasi.
Reformasi di Indonesia merupakan
sebuah gerakan yang memiliki perspektif sejarah politik monumental, karena era
reformasi sebuah era pemerintahan substitusi pemerintahan orde baru. Dengan
demikian, gagasan reformasi pendidikan saat ini memiliki momentum yang amat
mendasar, dan berbeda dengan gagasan yang sama pada era sebelumnya.
Salah satu perubahan mendasar dari
reformasi pendidikan dalam era reformasi ini adalah lahirnya UU. No. 22 tahun
1999, dan kini telah direvisi dengan lahirnya UU. No. 33 tahun 2004. kemudian
reformasi pendidikan juga ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003, sebagai pengganti UU. No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Kedua Undang-undang tersebut membawa perspektif baru yang amat
revolusioner dalam konteks perbaikan sector pendidikan yang mendorong
pendidikan sebagai urusan public dan urusan masyarakat secara umum dengan
mengurangi otoritas pemerintah baik dalam kebijakan kurikulum, manajemen maupun
berbagai kebijakan pengembangan stake holder dan pengelolaan pendidikan.[5]
Menurut Paulo Freire, sebuah
masyarakat revolusioner seharusnya melihat bahwa usaha memperoleh pengetahuan
itu menuntut diri mereka untuk berperan sebagai subjek-pencipta (creator), pencipta kembali (recreator) dan penemu ulang (reinventor).Menurutnya seorang pencari
ilmu harus mencermati pentingnya factor keingintahuan terhadap objek
pengetahuan, apakah keingintahuan itu ditujukan untuk memperoleh pengetahuan
yang sudah ada, atau untuk menciptakan pengetahuan baru.keduanya tidak dapat
dipisahkan. Memisahkan keduanya berarti mereduksi usaha untuk mempelajari
pengetahuan yang sudah ada menjadi sekedar transformasi pengetahuan yang
birokratis. Dalam konteks ini, sekolah menjadi sebuah pasar pengetahuan (knowledge market). Para
professor menjadi seorang ahli yang menjual dan mendistribusikan pengetahuan
yang telah dipaket (packaged knowledge),
sedangkan peserta didik menjadi klien yang membeli dan mengkonsumsinya. [6]
James A. beane dan Michael W. apple,
menjelaskan berbagai kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya
membangun sekolah demokratis( Beane dan Apple, 1995:7):
1.
Keterbukaan saluran ide dan
gagasan, sehingga semua orang bias menerima informasi seoptimal mungkin.
2.
Memberikan kepercayaan kepada
individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk
menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.
3.
Menyampaikan kritik sebagai
hasil analisis dalam proses penmyampaian evaluasi terhadap ide-ide,
problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
4.
Memperlihatkan kepedulian
terhadap kesejahteraan orang lain den terhadap persoalan-persoalan public.
5.
Ada kepedulian
terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas.
6.
Pemahaman bahwa demokrasi yang
dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga
demokrasi harus terus menerus dikembangkan dan bias membimbing keseluruhan
hidup manusia.
7.
Terdapat sebuah institusi yang
dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis.
Maka seharusnya pendidikan adalah
suatu aktivitas penimbaan ilmu yang bersifat mengembangkan aspek afektif,
kognitif dan psikomotorik. Pendidikan harus mengutamakan pada tujuan dasarnya
yaitu mendewasakan seorang manusia. Oleh karena itu segala sesuatu hal yang
bersentuhan dengan pendidikan harus saling memahami kewajibannya, serta perlu
diperhatikan juga hak-hak yang perlu diperolehnya. Sehingga tidakterjadi
kesenjangan dari setiap unsure-unsur pendidikan.Dengan kondisi demikian
pendidikan dapat dilihat lebih harmonis dan lebih optimal dalam pencapaian
tujuannya.
BAB III
PENUTUP
Politik dan pendidikan memang mempunyai hubungan dan
keterkaitan yang erat. Hal tersebut memang tidak akan dapat dipisahkan berubah
secara lazimnya, karena Negara diatur oleh suatu pemerintahan, dan semua
bidang-bidang kebutuhan masyarakat suatu Negara diatur oleh pemerintah,
termasuk bidang pendidikan. Sehingga aroma-aroma kegiatan politikpun juga
tercium dalam kegiatan pendidikan.
Terlebih lagi di Negara yang menganut paham demokrasi,
yang dalam pemegangan tampuk kekuasaan dilakukan dengan ajang kompetisi. Dalam
kompetisi tersebut para calon penguasa menggunakan partai politik sebagai alat
kemenangannya. Karena dalam politik merupakan kerja organisasi yang melibatkan
banyak pihak dan juga banyak orang, maka keterkaitan kepentingan masing-masing
pihak itu yang harus disepakati. Oleh karena itu suatu partai politik seperti
halnya satu kubu yang harus bisa memberikan manfaat pada anggotanya.
Pendidikan merupakan sutu aspek yang cukup ideal untuk
dijadikan sebagai media untuk melegitimasi kekuasaan, sehingga politisasi
pendidikan tidak dapat dihindarkan. Walaupun wacana tentang suatu pendidikan
yang demokratis digembar-gemborkan oleh berbagai pihak, tetapi pelaku kebijakan
tentunya adalah pemerintah. Pendidikan yang demokratis adalah suatu
keniscayaan, walaupun aroma-aroma politik dalam pendidikan juga tidak dapat
dihilangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Benny Susetyo
2005. Politik Pendidikan Penguasa.
Yogyakarta: LKiS.
Dede Rosyada
2007. Paradigma Pendidikan
Demokratis.Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Muh. Agus Nuryatno
2009. Materi Kuliah Ideologi
Politik Pendidikan
M. sirozi
2005. Politik Pendidikan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Paulo Freire
2000. Pendidikan Sebagai
Proses(diterjemahkan Agung Prihantoro). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
[1] M. sirozi, Politik
Pendidikan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2005, hal. 7.
[2] Muh. Agus N, Materi Kuliah
Ideologi Politik Pendidikan.
[3] M. sirozi, Politik
Pendidikan, hal.17.
[4] Benny Susetyo, Politik
Pendidikan Penguasa, LKiS, Yogyakarta,
2005, hal. 36
[5] Dede Rosyada, Paradigma
Pendidikan Demokratis, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hal. 11
[6] Paulo Freire, Pendidikan
Sebagai Proses(diterjemahkan Agung Prihantoro), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 12
0 Response to "Politisasi Pendidikan"
Posting Komentar