BAB III: TEORI KEBENARAN PENGETAHUAN
Di dalam pemikiran epistemologi
terdapat penge-lompokkan teori kebenaran. Pengelompokkan ini berdasar-kan pada sifat
terjadinya pengetahuan atau berdasarkan sumber pengetahuan dan sifat kelahiran
teori pengetahuan itu yaitu karena adanya faham baru yang melatarbelakangi
munculnya pengetahuan itu. Hal ini dapat terjadi disebab-kan oleh faham lama
yaitu empirisme (realisme) dan rationalisme (idealisme) serta faham baru yang
berlan-daskan antara lain pada bahasa yaitu faham analitika bahasa, faham
pragmatis dan lainnya. Dengan demikian, maka sedikitnya terdapat 8 faham atau
bentuk teori kebenaran yaitu teori kebenaran korespondensi dan teori kebenaran
koherensi sebagai teori kebenaran yang bertolak pada faham lama atau
tradisional; dan, teori kebenaran pragmatisme, teori kebenaran logis
berlebihan, teori kebenaran non-deskripsi, teori kebenaran semantik, teori
kebenaran sintaksis, teori kebenaran konsensus, serta teori kebenaran
otoritarianis, teori-teori itu adalah teori baru atau teori mutakhir.
Seorang yang mempelajari ilmu filsafat
ada baiknya memahami teori-teori ini, dengan demikian, diharapkan mampu
memiliki pandangan yang cukup luas atas problema pengetahuan yang setiap
filusuf memiliki cara dan sikap yang khas untuk memperoleh pengetahuan itu
sehingga berimplikasi terhadap munculnya kebenaran pengetahuan yang khas pula.
1. Teori Kebenaran Korespondensi
Teori ini dikenal sebagai salah satu
teori kebenaran tradisional atau teori yang paling tua(Hornie,1952). Teori ini
bertolak dari pernyataan Aristoteles yaitu “.....
to say of what is that it is or of what is not that it is not, is true”.
Menurut teori ini pengetahuan benar adalah pengetahuan dengan berdasar pada
asas logik bahwa “..... that it is true
that p, if and only if p”. Sehingga,
menurut teori korespon-densi ini sebagaimana dikemukakan White (1970) bahwa “..... since p is true if and only it p, then when what is said e.g. p is true’
pernyataan ini mengikuti filsafat Moore (1953) bahwa pengetahuan terjadi karena
adanya pema-haman langsung terhadap objek (direct
apprehension), maka pengetahuan tentang objek tertentu mesti dipercaya
keberadaan dan kebenarannya. Hal demikian disetujui pula oleh Marhenke bahwa
“..... to see a physical object is to see”.(Marhenke
dalam Schlipp, 1953). Moore secara tegas menjelaskan bahwa Pengetahuan benar manakala
cerapan indera atau data indera memiliki hubungan dan saling berkesesuaian (correspondence) dengan objek atau
benda-benda material. Lebih jauh ia menyatakan bahwa harus ada kesamaan antara
“ada penginderaan yang kita alami” secara khas menyatakan bahwa “When the belief is true, it certainly does
correspond to a fact, and when it corresponds to a fact it certanily true. And
similarly when it is false, it certainly does not correspond to any fact; and
when it does not correspond to any fact, then certainly false” (Moore,1952).
Hornie (1952) menyatakan secara jelas
bahwa “.... it affirms that our thoughts
or ideas are true or false according as they agree (correspond), or do not
agree, with a fact such as I think it to be”. Hal demikian juga sesuai
dengan pendapat Kattsoff (1986) yang
menyatakan bahwa, kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence)
antara makna yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan yang sungguh-sungguh
merupakan halnya atau apa yang merupakan faktanya (fakta yang actual being)
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa,
pengetahuan atau yang tercermin dalam proposisi yang benar dapat dibuktikan
langsung pada fakta atau objek yang diinderai, atau yang dapat dijabarkan
langsung pada dunia empirik atau pengalaman langsung yang dapat diamati indera.
Pengetahuan inderawi atau pengetahuan yang berdasar pada pengalaman indera
kebenarannya dapat dibuktikan dengan mengacu pada objek pengetahuan itu.
Kekhilafan atau kesalahan dapat terjadi karena kesalahan penginderaan atau
kurang cermatnya menginderai dan atau indera sudah tidak normal.
2. Teori Kebenaran Koherensi
Teori ini dibangun oleh oleh para
epistemolog yang bertolak pada sikap ontologis bahwa objek berupa hal abstrak
sehingga diandaikan ia hadir dalam kesadaran subjek. Paham ini dianut pula oleh
mereka yang mengembangkan paham logika positivisme. Menurut teori ini bahwa “.....to say that what is said (ussually
called judment, belief, or proposition) is true or false is to say that it
cohere with a system of other thing which are said; that it is a member of a
system whose elements are related to each other by ties of logical implication
as the element in a system of pure mathematics are related’(White, 1970)
Atau dapat dikemukakan juga bahwa proposisi bernilai benar bila proposisi itu
mempunyai hubungan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan dari proposisi terdahulu
yang bernilai benar dalam suatu sistem pemikiran yang saling berhubungan secara
logik-sistematik. Sebagai contoh jika kita ingin membuktikan bahwa runtuhnya
Majapahit pada tahun 1478 atau 1400 Çaka dengan candra sangkala Sirna Ilang
Kertaning Bumi. Maka dalam pembuktikan kebenaran itu kita tak dapat melihat
langsung seperti para epistemolog realis tetapi harus melalui proposisi-proposisi
terdahulu yang mewartakan tentang runtuhnya Majapahit. Proposisi itu dapat
ditemukan dalam catatan sejarah atau catatan lain yang menguak kejadian itu.
Dengan demikian, kebenaran pengetahuan itu dapat diuji melalui
kejadian-kejadian sejarah atau data-data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan,
Begitu pula bila yang akan diuji itu
adalah proposisi logika dan atau matematik. Maka, pengujiannya juga harus
kembali kepada logika yang digunakan dan matematik yang dibangun. Teori
kebenaran koheren di anut oleh paham rasionalisme dan atau paham idealisme
ontologis.
3 Teori Kebenaran Pragmatik
A.R. White (1970) dalam bukunya Truth; Problem in Philosophy, menyatakan
bahwa teori kebenaran tradisional lainnya adalah teori kebenaran pragmatik.
Paham Pragmatisme sesungguhnya merupakan pandangan filsafat kontemporer karena
paham ini baru berkembang pada akhir abad XIX dan awal abad XX oleh tiga
filusuf besar Amerika yaitu C.S.Pierce, William James dan John Dewey. White
menjelaskan bahwa menurut paham ini “..... an
idea —a term used loosely by these philosophers to cover any opinion, belief,
statement, or what not”— is an instrument with a particular function. A true
ideas is one which fulfills its function, which works; a false ideas is one
does not.”
Kattsoff (1986) menguraikan tentang
teori kebenaran pragmatis ini yaitu bahwa penganut pragma-tisme meletakan
ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau, proposisi itu dapat
membantu untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang memuaskan terhadap
pengalaman-pengalaman. Pernyataan itu adalah benar.
Jadi menurut teori ini bahwa suatu
pengetahuan atau proposisi bernilai benar manakala proposisi itu memiliki
konsekuensi praktis sebagaimana yang melekat secara inheren dalam pernyataan
itu sendiri. Hal ini karena setiap pernyataan selalu terikat pada hal yang
bersifat praktis, maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum,
yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal, sebab
pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam
perkembangannya pengalaman itu senantiasa berubah. Hal itu dikarenakan bahwa
dalam praktiknya apa yang diang-gap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman
berikutnya. Atau dengan kata lain, bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar melainkan
hanya dapat menjadi benar kalau saja —pengetahuan atau proposisi— dapat
dimanfaatkan secara praktis.
4 Teori Kebenaran Semantik
Kebenaran pengetahuan di dalam teori
ini bahwa proposisi dianggap benar dalam hubungan atau mengacu pada arti atau
makna yang dikandung oleh proposisi atau pengetahuan. Oleh karenanya, teori ini
memiliki tugas untuk menguak keabsyahan (validitas) proposisi terhadap
referensi yang diacunya (dapat mengacu pada pengalaman atau pada idea) si pemilik pengetahuan.
Di dalam teori ini dibedakan antara
arti dalam bentuk sintaksis atau menurut struktur sintaksis atau tata bahasa
atau gramatika. Artinya, bahwa proposisi itu memiliki arti dan bahkan memiliki
kebenaran dalam hubungannya dengan syarat tata bahasa. Jadi apabila pernyataan
itu tak mengikuti dan memenuhi syarat gramatika atau bahkan ke luar dari hal
yang di syaratkan tata bahasa maka proposisi itu tak memiliki arti dan makna
sama sekali. Para penganut teori kebenaran sintaksis berpangkal pada keteraturan
sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan. Atau dengan kata
lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang
disyaratkan maka proposisi itu tidak memiliki arti. Teori ini berkembang di
antara para filusuf analitika bahasa terutama yang begitu ketat terhadap
pemakaian gramatika seperti Freiederich Schleiermacher (1768-1834) Menurut
Schleiermacher sebagaimana dikemukakan oleh Poespo-projo (1987) bahwa pemahaman
adalah suatu rekonstruksi, bertolak dari ekspresi yang selesai diungkapkan
menjurus kembali kesuasana kejiwaan dimana ekspresi itu diung-kapkan. Disini
terdapat dua momen yang saling terjalin dan berinteraksi, yakni momen tata
bahasa dan momen kejiwaan.
Di samping teori sintaksis terdapat
pula teori semantik. Menurut teori semantik bahwa pengetahuan atau proposisi
itu mempunyai nilai kebenaran dan memiliki arti apabila proposisi itu
menunjukkan makna yang sesung-guhnya dengan menunjuk pada referensi atau
mengacu pada kenyataan (fakta atau data). Juga, arti yang dikemukakan itu
adalah arti yang sifatnya definitif atau bahkan esoterik yaitu arti yang
sungguh-sungguh melekat pada term yang digunakan dalam pernyataan itu dengan
mengacu dan menunjuk pada ciri yang khas. Teori kebenaran ini dianut oleh para
filusuf analitika bahasa. Filsafat analitika bahasa yang dikembangkan pasca
Bertrand Russell dan G.E. Moore sebagai tokoh pemula filsafat analitika bahasa.
Teori kebenaran semantik sebenarnya
berpangkal pada pendapat Aristoteles yang bertolak bahwa pengetahuan selalu
bertolak pada objek yang common sensible.
White (1970) menyatakan “..... To say of
what is that it is or of what is not, is true” atau bahkan mengacu pada teori
kebenaran tradisional korrespondensi yang menyatakan bahwa “ ..... that truth consists in correspondence of
what is said and what is fact” Dengan demikian, teori kebenaran semantik
menyatakan bahwa proposisi itu mempunyai nilai kebenaran bila proposisi itu
memiliki arti. Arti ini dengan menunjukan kenyataan sebagai acuan (referensi) yaitu
objek konkret yang common sensible.
Di dalam teori kebenaran semantik ada
beberapa sikap yang dapat mengakibatkan apakah proposisi itu memiliki arti
esoterik, arbitrer, atau hanya manakala berfungsi secara praktis. Arti yang
terkandung dalam pernyataan amat tergantung pada sikap pemakai makna pernyataan
itu. Sikap itu antara lain adalah sikap episte-mologis skeptis, sikap ini adalah kebimbangan taktis
atau sikap ragu untuk mencapai kepastian (certainty)
dalam memperoleh pengetahuan. Dengan sikap ini dimaksudkan agar dicapai makna
yang esoterik yaitu makna yang benar-benar pasti tak lagi mengandung keraguan
di dalamnya. Sikap lain adalah sikap epistemologik yakin dan ideologik. Di
dalam sikap ini dikandung makna bahwa proposisi itu memiliki arti namun arti
itu bersifat arbitrer atau sewenang-wenang atau kabur, dan tidak memiliki sifat
pasti. Jika diandaikan mencapai kepastian sebatas pada kepercayaan yang ada
pada dirinya. Serta, sikap epistemologi pragmatik. Sikap ini menghasilkan makna
pernyataan amat terikat pada nilai praktis pada pemakai proposisi. Akibat
sematiknya adalah kepastian terletak pada subjek yang menggunakan pernyataan
itu. Artinya apakah pernyataan berakibat praktis atau konsekuensi praktis bagi
pengguna pernyataan itu.
5. Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori kebenaran non-deskripsi
dikembangkan oleh para penganut filsafat fungsionalisme. Menurut paham ini pada
dasarnya suatu pernyataan akan memiliki nilai benar amat tergantung pada peran
dan fungsi pernyataan itu. White (1970) menyatakan bahwa “..... to say, it is true that not many people are likely to do that,
is a way of agreeing with the opinion that not many people are likely to do
that and not a way of talking about the sentence used to express the opinion”.
Menilik pernyataan ini, pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan
itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan keseharian. Pernyataan
itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakannya secara praktis
dalam kehidupan keseharian. White (1970) lebih lanjut menjelaskan bahwa “The theory
non-descriptive gives us an important insight into function of the use of
“true” and “false”, but not an analysis of their meaning”.
Sebagai contoh di dalam budaya
Indonesia dan Budaya Jawa terdapat beberapa istilah yang maknanya diketahui
secara umum sehingga kadang-kadang tak diperlukan deskripsi arti yang
dikandungnya. Sebagai contoh istilah “kiri”, memiliki banyak arti tetapi arti
itu pada umumnya tak perlu lagi ditunjukkan maknanya. Contoh lain, istilah
“bulan”.
6. Teori Kebenaran
Logis Berlebihan (Logical-superfluity of
truth)
Teori ini dikembangkan atau dianut
oleh kaum logika positivistik yang di
awali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori kebenaran ini adalah bahwa
problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya
merupakan pemborosan, karena pada dasarnya pernyataan atau proposisi yang
hendak dibuktikan kebenarannya telah memiliki derajat logik yang dapat
dipertanggungjawabkan, dan, bahasa yang digunakan mengandung kebenaran logis
yang di dalamnya telah saling melingkupinya (atau tanpa di jelaskan maknanya
telah ditunjukkan oleh eksistensi objek, objek adalah object given (yang sifatnya actual
being), dengan demikian, sesungguhnya semua orang telah memberikan
informasi yang maknanya telah disepakati bersama. Dan apabila, akan dibuktikan
lagi kebenarannya itulah suatu perbuatan yang sifatnya logis berlebihan.
Sebagai contoh, pernyataan “salju putih” pernyataan ini tak perlu dibuktikan
secara logis karena semua orang sepakat demikian. Atau, pernyataan “orang
gundul tak berambut” semua orang sepakat bahwa orang gundul mesti tak berambut,
sehingga apabila dibuktikan lagi kandungan kebenarannya maka itu tindakan logis
berlebihan. Hal demikian, sesungguhnya karena suatu pernyataan yang hendak
dibuktikan kebenarannya itu telah mengacu pada fakta yang actual being atau
data yang telah memiliki evidensi, artinya bahwa objek pengetahuan itu sendiri
telah menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri (Gallagher, 1971).
7. Teori Kebenaran Konsensus
Teori ini dikembangkan oleh Jurgen Habermas.
Kriteria kebenaran menurut teori ini adalah persepakatan atau persetujuan yang
dianggap rasional dari suatu perbincangan tertentu. Oleh karena itu, kebenaran
yang berdasarkan konsensus tidak dapat berlaku mutlak satu kali perbincangan
untuk selamanya, sebab hasil perbincangan mana pun harus terbuka untuk
diperbincangkan kembali.
Untuk dapat sampai pada suatu
kebenaran yang bersifat kesepakatan atau konsensus harus dipenuhi syarat-syarat
situasi perbincangan yang ideal. Untuk menghin-darkan kesulitan yang mungkin
timbul peserta perbin-cangan harus mengandaikan bahwa yang diperbincangkan
situasi empirik yang aktual (dalam bahasa Aristoteles yang actual being/factual). Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara
lain adalah (1) Semua peserta perbincangan harus diberi kesempatan yang sama
untuk bicara seperti apa yang diinginkannya. (2) Peserta diberi kesempatan yang
sama untuk menafsirkan, menganjurkan, membenarkan, dan juga mempersoalkannya,
(3) Semua peserta dituntut agar mengambil sikap komunikatif yang wajar yakni
mengutarakan apa yang dipikirkannya dan betul-betul bermaksud menyampaikan
pikiran-pikirannya kepada peserta lain; Dan, (4) Di antara peserta perbincangan
tidak dibolehkan ada perbedaan wewenang atau kekuasaan yang dapat mempengaruhi
jalannya perbincangan.
Teori kebenaran konsensus ini pada
tataran filsafat politik menjadi basis bagi teori demokrasi pada saat melakukan
perbincangan politik. Dengan demikian, tak ada jarak di anatara peserta
perbincangan dean hasilnya dapat dikoreksi atau disaksikan bersama dengan tidak
memper-hatikan sekat ideologi, jabatan, atau lainnya, karena setiap hasil
perbincangan disampaikan secara terbuka kepada publik pada ruang publik yang
terbuka.
8. Teori Kebenaran Otoritarianis
Bertumpu pada pernyataan-pernyataan di bawah ini,
kita dapat memilahkan bahwa masing-masing pernyataan memiliki nilai benar
dengan bertumpu pada kewibawaan yang dimiliki oleh pembicara. Dalam pernyataan (1)
“Saya percaya bahwa pengetahuan yang saya peroleh dari Prof. X adalah benar”, (2)
“saya percaya bahwa informasi yang disampaikan oleh pejabat Q adalah benar,
serta (3) “Saya percaya bahwa pengetahuan yang disampaikan oleh Ketua Suku saya
adalah benar”. Ketiga pernyataan itu disampaikan kepada subjek, dan subjek
menerimanya begitu saja tanpa kritis atau menggunakan logika yang rumit, karena
pada dasarnya subjek menerima ke-3 informasi itu bertumpu pada kewibawaan yang
melekat pada masing-masing subjek yang menyampaikan informasi kepada subjek
mengetahui lain. Subjek pertama (1) adalah pemegang otoritas karena subjek
memiliki kewibawaan material atau bahkan kharismatik. Orang yang menerima
informasi dari subjek pemegang otoritas material pada umumnya diterima karena
subjek percaya pada kemampuan material yang melekat pada dirinya. Atau subjek
menge-tahui; (2) mendapat informasi pengetahuan dari mereka pemegang otoritas
formal apakah ia pejabat formal atau subjek pemegang jabatan formal (struktural),
dan (3) subjek memperoleh pengetahuan
sebagaimana disampaikan oleh mereka yang secara fungsional memiliki kekuasaan
untuk membina kelompok (suku) atau umatnya. Dengan demikian terdapat 3 macam
otoritas yang ada di dalam masyarakat yaitu (1) otoritas kharismatik, contohnya
Bung Karno, atau mungkin Obama, dan para Guru Besar di bidang Ilmunya. (2)
otoritas formal, contoh, para guru, pejabat pemerintahan, dan (3) otoritas
fungsional, contoh, tetua suku, atau key
person di dusun (tradisional). Subjek yang memperoleh pengetahuan demikian
dipercaya telah terdapat kebenaran di dalamnya —walaupun mungkin subjek ragu
terhadap informasi yang disampaikannya itu, namun pada umumnya subjek penerima
berita dari salah satu atau ketiganya pemegang kewibawaan baik material, formal
maupun fungsional.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Hamami M, 1983, Epistemologi, Yayasan Pem-binaan fakultas
Filsafat UGM, Yogyakarta.
Aristoteles.
Gallagher, K.T.,1971, Philosophy of
Knowledge, disadur oleh Hardono Hadi, 1994, Epistemologi,
Kanisius, Yogyakarta.
Habermas
........................................................
Hoernie,R.F.A., 1952, Studies in Philosophy, George
Allen&Unwin Ltd, London
Hospers,J., 1967, An Introduction to Philosophical Analisys,
Englewood Cliffs
Kattoff, L.O., 1954, Element of
Philosophy, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, 1986, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Plato,
The Liang Gie, 1977, Suatu Konsepsi ke arah Penertiban Filsafat,
Karya Kencana, Yogyakarta.
White, A.R. 1970, Truth; Problem in Philosophy,
Doubleday&Co, New York.