Refleksi: Relasi Prinsip Ideologis Dengan Pemahaman Orientasi Eksatologis Manusia Dalam Apologi Survival

Heterogenitas tingkat dan karakteristik pemahaman masyarakat yang kemudian menjadi prinsip ideologis temporer mengenai orientasi hidupnya menciptakan heterogenitas pula dalam masyarakat dalam menjalani sisi-sisi kehidupanya. Hal tersebut yang kemudian menciptakan dinamika kehidupan masyarakat yang kompleks. Prinsip ideologis yang dipegang masyarakat disebut temporer karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang berproses dan berkembang kemampuannya, begitu pula dalam tingkat pemahamannya yang senantiasa berevolusi dipengaruhi oleh pengalaman empiris-spiritual dalam hidupnya.

Realitas perjalanan hidup manusia yang kompleks dalam masing sisi-sisi kehidupannya, baik sisi ekonomi, sosial, politik, budaya dan lain-lain menjadi alasan yang cukup kuat dalam memilih prinsip ideologis temporer yang dianutnya.

Dalam konteks ekonomi, lebih dibatasi bahasannya bahwa sisi ekonomi sebagai proses survival manusia terhadap kehidupannya, menjadi alasan yang kuat untuk memilih prinsip ideologis yang berkaitan dengan orientasi hidupnya. Fitrah menciptaan manusia untuk survive terhadap eksistensi jasmani dan ruhaninya sebagaimana sunnatullah yang telah ditetapkan, manusia membutuhkan "makan" untuk menjaganya tetap ada. Kemudian fitrah penciptaan manusia sebagai mahluk psikologis, seperti dalam teori psychoanalisis-nya Sigmund Freud yang menyebutkan bahwa manusia adalah mahluk yang digerakkan oleh keinginan-keinginan terpendam (homo volenc) menggiring manusia untuk mengembangkan kebutuhan survivalnya tidak hanya sekedar "makan" saja, tetapi juga memenuhi kebutuhan "gaya hidup" sebagai tuntutan kesenangan sebagai entitas psikologis dalam dirinya. Kemudian sebagai mahluk ekonomi (homo economicus) manusia menciptakan kesepakatan dengan sesamanya sebagai mahluk sosial (homo socius) tentang bagaimana proses mendapatkan kebutuhan survivalnya, manusia mendapatkan kebutuhannya dan dari interaksi dengan sesamanya.

Kemampuan masing-masing manusia dalam proses survivalnya terhadap pemenuhan kebutuhan berbeda-beda sehingga dalam masyarakat dikenal terma "strata sosial". Terma "strata" pada hakikatnya merupakan fitrah penciptaan, yang mana setiap elemen-elemen penciptaan-Nya terdiri atas strata atau tingkatan yang berbeda-beda. Dalam konteks ekonomi terdapat strata ekonomi baik dalam system-aplikatif dalam proses ekonomi maupun yang melekat dalam masing-masing manusia yaitu terhadap kemampuannya dalam ber-ekonomi yang diukur dalam tingkat kepemilikan finansial.

Dalam realitasnya pencapaian terhadap kebutuhan ekonomi membutuhkan perjuangan yang keras. Bagi manusia yang ditakdirkan atau sedang menempati strata ekonomi yang rendah, pemenuhan terhadap kebutuhan survivalnya terasa berat, bahkan terkadang hanya untuk pemenuhan kebutuhan survival pokoknya demi menjada eksistensi (nyawa)nya yaitu untuk makan saja susah. Kondisi demikian kemudian menjadi alasan untuk menjalani survivalnya dengan tindakan-tindakan ataupun profesi yang secara umum dalam kesepakatan penilaian manusia dianggap buruk dan hina. Dianggap buruk karena tindakan-tindakan atau sebagai profesi yang dilakukan manusia itu merugikan manusia lain, seperti mencuri, merampok, menipu, melacur dll. Dianggap hina karena profesi yang dilakukan manusia itu menduduki peringkat rendah dalam strata nilai-nilai yang dipahami manusia secara umum.

Kerasnya perjalan survival membuat manusia membuat manusia memilih prinsip ideologis baik yang bersifat materialistis maupun spiritualistis. Sebagian manusia hanya memilih pemahaman materialistis yang pragmatis dan tak mampu menjangkau pemahaman spiritualistis yang berketuhanan. Sebagian manusia yang berprinsip-idelologis materialisme melakukan tindakan-tindakan atau sebagai profesi yang dinilai buruk dan hina demi tuntutan survivalnya. Sedangkan sebagian manusia yang mampu mendapatkan pemahaman spiritualistis-berketuhanan melakukan tindakan-tindakan atau sebagai profesi yang dinilai baik walaupun menempati strata ekonomi maupun strata sosial yang rendah.

Prinsip-ideologis materialisme yang menjadi acuan manusia dalam proses survival manusia mengesampingkan bahasan ontologis yang dalam spiritual agama memuat sisi eksatologis (keadaan setelah akhir hidup manusia). Bahwa setelah akhir hayat manusia ada kondisi kehidupan lain dalam alam akhirat, dan pen-strata-an dalam alam kehidupan akhirat ditentukan oleh sang Pencipta sebagai estafet dari alam dunia materiil manusia. Strata kehidupan di akkhirat secara dasar terbagi menjadi dua, yaitu tinggi dan rendah, bahagia dan menderita, surga dan neraka. Sedangkan penentuan strata yang dinobatkan kepada setiap manusia mengarah kepada tindakan-tindakan manusia dalam menjalani proses survivalnya di alam materiil (dunia) yang bersifat nilai-nilai dan moral. Dalam fitrah penciptaan manusia Allah SWT telah memberikan pengetahuan nlai-nilai tersebut dalam diri manusia, dimana manusia secara naluriah bisa mengetahui antara yang baik dan yang buruk. Maka pen-strata-an manusia dalam akhirat pun linier dengan amal tindakannya di dunia. Manusia yang melakukan tindakan-tindakan baik akan mendapatkan strata yang baik (bahagia, surga) dan manusia yang melakukan tindakan-tindakan buruk akan mendapatkan strata yang buruk pula (menderita, neraka).

Berdasarkan hipotesis tersebut, apakah manusia-manusia yang memilih tindakan-tindakan buruk tetap dibenarkan dengan alasan pemenuhan kebutuhan survivalnya?

PENDIDIKAN ISLAM DALAM PUSARAN SEJARAH Menguatkan (Kembali) Ruh Qur’ani dalam Membina Masyarakat Madani




Oleh

Prof Dr Faisal Ismail MA
Guru Besar Sejarah Peradaban Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta






PENDIDIKAN ISLAM DALAM PUSARAN SEJARAH

Menguatkan (Kembali) Ruh Qur’ani
dalam Membina Masyarakat Madani



Istilah penting dan sekaligus kata kunci yang akan sering dipakai dalam orasi ini adalah pendidikan. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan pendidikan itu? Pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan secara sadar, terencana, terstruktur dan berkesinambungan dalam rangka menghasilkan anak-anak didik menjadi SDM (sumber daya manusia) yang berkualitas secara intelektual dan berkualitas secara moral. Dalam perspetkif Islam, pendidikan bertujuan untuk mengantarkan para peserta didik agar mereka dapat mengembangkan seluruh potensi mereka masing-masing sehingga mereka nantinya bisa menjadi manusia-manusia beriman yang cakap, pandai, terampil dan mampu hidup secara mandiri dalam memenuhi segala kebutuhan hidup mereka.
Seluruh proses kegiatan pendidikan merupakan suatu sistem yang utuh, terencana dan terpadu. Sebagai suatu sistem yang utuh dan terpadu, pola penyelenggaraan pendidikan sudah tentu mensyaratkan adanya berbagai macam perangkat pendidikan seperti filsafat pendidikan, tersedianya para pendidik, para anak didik, sarana dan prasarana pendidikan, kurikulum dan materi pendidikan, metode pendidikan, evaluasi pendidikan dan tujuan pendidikan. Dilihat dari perspektif sosio-kultural, seluruh aktivitas pendidikan dan kegiatan pembelajaran merupakan suatu proses kreatif budaya dan sekaligus sebagai proses internalisasi nilai-nilai budaya yang berlangsung secara dialektik, sinergis, integral dan total dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Proses penanaman nilai-nilai budaya dan aktivitas pembudayaan yang kreatif ini berlangsung sepanjang dinamika kehidupan manusia, dari generasi ke generasi berikutnya.

Proses edukasional dan kultural

Sebagai suatu proses edukasional-kultural yang dinamis dan sekaligus inovatif, aktivitas pendidikan merupakan rangkaian kegiatan pewarisan seluruh khazanah ilmu pengetahuan dan harta kebudayaan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Secara fitrah-kodratiah, generasi tua selalu memelihara dan senantiasa berupaya untuk terus mewariskan seluruh harta kekayaan kebudayaan mereka kepada generasi muda sebagai generasi penerus. Dengan demikian, khazanah ilmu pengetahuan dan harta kebudayaan tersebut akan tetap terjaga dan terpelihara dari masa ke masa dan tidak akan musnah dalam perjalanan kehidupan manusia.
Proses pewarisan harta kebudayaan dari generasi tua ke generasi muda itu berlangsung secara inovatif dan dinamis, terjadi secara berkesinambungan sebagaimana ditunjukkan oleh makna dan pengertian kata ‘pewarisan’ itu sendiri. Demikianlah, dalam proses alih generasi, generasi muda akan mewarisi sains dan teknologi serta seluruh harta kebudayaan dari generasi tua. Selanjutnya, generasi muda akan mengolah dan mengembangkan sains dan teknologi serta seluruh harta kebudayaan tadi sesuai dengan perkembangan alam pikiran mereka. Dengan demikian, proses-proses inovatif pendidikan dan konstruk pembelajaran dalam bingkai kehidupan masyarakat berlangsung sejalan dengan dinamika dan denyut respons kreatif masyarakat itu terhadap kompleksitas tantangan modernitas yang mereka hadapi.
Sebagai institusi pegembangan budaya manusia, lembaga pendidikan berperan sebagai saluran yang sangat kreatif dan sekaligus sebagai piranti yang sangat efektif dalam menanamkan, menumbuhkan, mengembangkan dan mewariskan nilai-nilai insani dari generasi tua ke generasi muda. Nilai-nilai tadi, pada gilirannya, tersosialisasi secara luas dan mengakar secara kuat, kemudian terlembagakan dan menjadi pola-pola acuan kesadaran hidup bersama dalam tatanan kolektif kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tadi terus hidup, tumbuh dan berkembang menjadi seperangkat sistem atau tatanan sosial dan sandaran kolektif normatif yang secara sadar dipegangi secara bersama dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Dalam konteks demikian, seluruh anggota masyarakat sangat menghargai dan menghormati sistem nilai dan tatanan norma etis-kolektif yang mereka pegangi dan mereka warisi dari generasi-generasi sebelumnya. Sistem-sistem nilai ini ada yang secara dominan bersumber dari ajaran agama, ideologi, paham atau filsafat sosial yang hidup dalam lingkungan suatu masyarakat/bangsa di mana mereka hidup. Perbedaan-perbedaan sumber ajaran dan filsafat yang mendasari tatanan nilai ini sudah barang tentu secara keseluruhan akan membawa konsekuensi logis terjadinya perbedaan-perbedaan visi, misi, wawasan, orientasi, tujuan dan sistem pendidikan yang ada pada setiap kelompok masyarakat atau bangsa.

Sistem-sistem Pendidikan non-Islam

Dilihat dari segi sumber nilai dan filsafat yang mendasarinya, sistem-sistem pendidikan di dunia ini secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi tiga: sistem pendidikan yang berdasarkan pada agama, sistem pendidikan yang bercorak sekuler (Barat) dan sistem pendidikan Komunis. Sistem pendidikan yang berdasarkan pada agama sudah barang tentu berakar kuat pada doktrin agama tertentu, misalnya sistem pendidikan Islam.
Setiap komunitas agama (seperti Yahudi, Muslim, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha), secara teologis-filosofis, tentunya secara khusus memiliki sistem pendidikannya sendiri-sendiri. Dalam sistem pendidikan agama-agama tadi tergambar secara jelas filsafat, visi, misi, wawasan, orientasi dan tujuan masing-masing. Sistem-sistem pendidikan tersebut dimaksudkan oleh komunitas agama masing-masing untuk mencapai tujuan utama mereka, yaitu hendak meningkatkan kesadaran spiritual dan kamajuan intelektual mereka masing-masing.
Sistem pendidikan sekuler adalah sistem yang berakar dan bersandar pada sekularisme yang memisahkan pendidikan dari elemen ajaran-ajaran Ketuhanan dan nilai-nilai agama. Dalam sistem pendidikan yang bercorak sekuler, agama sama sekali tidak diberikan ruang gerak untuk ikut campur dalam seluruh proses pendidikan, tetapi agama tidak dibenci atau dimusuhi. Di Amerika Serikat (AS), umpamanya, murid-murid tidak diperbolehkan berdo’a di ruang kelas ketika pelajaran akan dimulai. Berdo’a saja tidak boleh, apa lagi melakukan hal-hal yang jauh lebih substansial dan fundamental daripada itu. Di Barat, posisi, fungsi dan peranan agama terbatas dan dibatasi menjadi urusan pribadi atau wilayah perorangan. Agama tidak dibenarkan mengambil bagian dalam kancah kegiatan-kegiatan di ranah publik seperti pendidikan, politik dan kenegaraan.
Fenomena dikotomis-separatis di atas sebenarnya merupakan akibat wajar dan konsekuensi logis dari sistem politik di dunia Barat yang secara resmi dan secara ketat memisahkan antara gereja (agama) dan negara. Dalam pandangan masyarakat Barat, negara adalah wilayah keduniawian yang pengurusannya diserahkan kepada kaisar, raja atau kepala negara. Sedang bidang agama adalah ranah spiritual-kerohanian yang pengurusannya diserahkan kepada Paus dan pemimpin agama. Agama dalam kehidupan masyarakat Barat tidak dibenarkan untuk menyentuh, apalagi mengintervensi, urusan-urusan negara. Agama di Barat dipisahkan dari ruang publik. Agama dijadikan sebagai urusan pribadi atau perseorangan, dan hanya boleh bergerak sebatas wilayah itu. Simbol-simbol ketuhanan dan keagamaan tidak boleh memasuki wilayah kenegaraan.
Di universitas-universitas Barat, biasanya di jurusan Middle East Studies, Near Eastern Studies, atau Religious Studies, mata kuliah agama (seperti Christianity, Judaisme, Islam, Buddhisme, dan Hinduisme) memang dimasukkan ke dalam kurikulum perkuliahan. Untuk memahami sejarah agama-agama itu, para mahasiswa biasanya mengambil mata kuliah itu sehingga pengetahuan mereka tentang sejarah agama-agama itu bisa mendalam. Akan tetapi, penawaran dan pencantuman mata pelajaran agama ke dalam kurikulum tadi hanya dimaksudkan sebagai bahan kajian ilmiah yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan upaya-upaya pendidikan yang bertujuan untuk membina nilai-nilai spiritual keagamaan dan memperkuat dimensi sendi-sendi keimanan kepada Tuhan.
Pendidikan sekuler, tidak dapat diragukan lagi, memang lebih banyak menekankan pada aspek pengembangan kapasitas akal pikiran dan nalar semata, akan tetapi kurang/tidak memberikan porsi yang wajar pada segi pendidikan spiritual, moral dan akhlak. Masalah iman, spiritual, akhlak dan moral diserahkan kepada pribadi pelajar/mahasiswa masing-masing sebagai persoalan dan urusan perorangan. Karena itu, pendidikan di Barat sebenarnya bukan pendidikan dalam arti yang sebenarnya, akan tetapi lebih bersifat pengajaran semata. Yaitu, suatu proses kegiatan belajar-mengajar yang hanya menekankan pada keberlangsungan transfer ilmu pengetahuan dari para guru/dosen kepada para pelajar/mahasiswa.
Selanjutnya, sistem pendidikan Komunis, secara keseluruhan, adalah sistem pendidikan yang didasarkan pada filsafat historis materialisme dan bersumber dari ideologi ateisme-Marxisme-Komunisme seperti yang ada di Uni Soviet (sebelum bubar) dan China. Dalam sistem pendidikan Komunis, agama bukan saja tidak diberi ruang gerak dalam bidang pendidikan, akan tetapi secara terang-terangan agama ditentang, dikekang, dibenci, dimusuhi dan bahkan hendak diberantas sampai ke akar-akarnya dalam seluruh aspek tatanan kehidupan masyarakat Komunis. Secara jelas hal ini (pernah) terjadi di negara-negara Komunis, seperti di Uni Soviet dan China, yang memang secara sengaja melakukan berbagai kampanye dan propaganda anti-Tuhan dan anti-agama secara sistematis dan besar-besaran di negeri mereka.
Dulu di Uni Soviet, para penguasa pernah menempuh berbagai kebijakan sistematis yang sangat represif dalam memusuhi dan memberantas hal-hal yang berbau agama, karena agama – bagi mereka – adalah tak lebih sebagai candu bagi masyarakat. Kaum Komunis, yang berpegang kepada paham historis materialisme, berpendapat bahwa segala sesuatu itu dikatakan ada (eksis) apabila dapat dibuktikan dengan akal atau rasio dan dibuktikan pula dengan hasil-hasil pengamatan panca indra atau bukti-bukti ilmiah-empiris.
Karena Zat dan Eksistensi Tuhan tidak dapat diobservasi dan dilihat dengan mata dan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah-empiris, maka Tuhan itu – bagi kaum ateis-Komunis – tidak ada. Tuhan, bagi kaum ateis-Komunis, adalah omong kosong, irrasional dan nonsense. Pandangan ini sudah barang tentu menjadi akar dan dasar kuat dalam bangunan sistem pendidikan Komunis yang sangat bertolak belakang dengan pola pandangan agama dan dasar Ketuhanan dalam sistem pendidikan yang berbasis agama (Islam).

Filsafat dan Sistem Pendidikan Islam

Pendidikan Islam sudah pasti tidak sama dengan pendidikan non-Islam. Hal ini disebabkan oleh ajaran Islam yang mendasari dan menjiwai konsep, filsafat dan sistem pendidikan Islam yang secara kontras berbeda dari konsep, filsafat dan sistem pendidikan non-Islam. Secara garis besar, konsep, filsafat dan sistem pendidikan Islam dapat diuraikan dan diterangkan sebagai berikut. Uraian-uraian berikut ini sekaligus hendak menjelaskan secara gamblang tentang perbedaan mendasar antara sistem pendidikan Islam dengan sistem pendidikan-pendidikan non-Islam.
Pertama, pendidikan Islam merupakan perintah Allah sebagai kewajiban agama. Sebagai kewajiban atau perintah agama, seluruh proses belajar-mengajar, proses pembelajaran dan proses pencarian ilmu pengetahuan menjadi fokus utama yang sangat bermakna dan bernilai dalam pendidikan Umat Muslim. Kewajiban ini mengacu kepada wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang isinya memuat suruhan dan dorongan untuk “membaca” dan “mengajar” (Q.S. Al-‘Alaq: 1-5). Kata “membaca” (iqra’) di sini, secara filosofis dan praktis-empiris, dapat dimaknai seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya dalam konteks kehidupan Umat Islam.
Dalam konteks ini, Islam menghendaki agar manusia dapat menulis dan membaca (melek huruf, tidak buta huruf) agar menjadi manusia yang berpengetahuan, pandai dan cerdas. Pada gilirannya, dengan segala kepandaian dan kecerdasan yang ada pada dirinya, manusia akan mampu untuk melakukan observasi, eksplorasi, eksperimentasi, kajian, studi, telaah, analisis, penelitian dan riset dalam dunia ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman secara menyeluruh dan komprehensif.
Perintah “membaca” dari Allah di atas hendaknya diartikan sebagai perintah untuk menganalisis secara kritis terhadap ayat-ayat kauniyah (ayat-ayat tidak tertulis/alam semesta) dan ayat-ayat qauliyah (ayat-ayat tertulis/Alqur’an), kemudian menafsirkan serta menyelaraskan antara keduanya berdasarkan hubungan fungsional pemaknaan teks dan konteks. Perangkat-perangkat teori, konsepsi, pendekatan dan metodologi ilmiah sangat diperlukan dalam melakukan penelitian dan analisis hubungan teks dan konteks itu agar pemikiran atau penelitian yang kita lakukan dapat memperoleh hasil yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan.
Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan bahwa menuntut ilmu (tentu saja di dalamnya terkait dengan kegiatan pembelajaran, proses belajar-mengajar dan proses pendidikan) adalah wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah. Dengan demikian, Islam mewajibkan umatnya untuk selalu giat dan tekun menuntut ilmu yang, secara sinergis, intensitas kegiatannya memfokus pada aktivitas pembelajaran dan pendidikan secara total dan integral.
Kedua, pendidikan Islam berasaskan pada ajaran tauhid. Ia tidak memisahkan nilai-nilai moral/nilai-nilai Ketuhanan dari nilai-nilai hidup keduniawian. Bahkan nilai-nilai iman, moral dan Ketuhanan menjadi asas yang mengakar kuat dalam segala aspek pelaksanaan dan pencapaian tujuan pendidikan Islam. Nilai-nilai tauhid ini merupakan dasar dan tujuan utama yang harus tercermin dalam konsep, filsafat dan sistem pendidikan Islam. Dan dasar pandangan hidup tauhid inilah yang secara teologis-filosofis membedakan secara kontras antara pendidikan Islam dengan sistem-sistem pendidikan lain.
Muatan prinsip-prinsip keimanan dan nilai-nilai asasi Ketuhanan (sebagaimana tertera dalam Alqur’an Surat Al-Ikhlas ayat 1-5) secara jelas dan tegas sudah barang tentu menjadi basis kekuatan moral transendental yang harus mengakar secara kuat dan mendasar dalam seluruh pilar-pilar intelektual bangunan sistem pendidikan Islam.
Ketiga, pendidikan Islam merupakan ibadah kepada Allah. “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,” demikianlah Allah bertitah dalam Alqur’an (Surat At-Tahrim: 6). Ini berarti bahwa seluruh kegiatan pendidikan itu merupakan kewajiban individual dan kolektif yang pelaksanaannya dilakukan melalui jenjang pendidikan formal dan jalur pendidikan non-formal sesuai dengan tingkat kemampuan anggota masyarakat Islam masing-masing.
Karena bernilai ibadah, tujuan pendidikan Islam harus bermuara pada pencapaian penanaman nilai-nilai Ilahiyah dan nilai-nilai insaniah dalam seluruh proses pembangunan dan pengembangan watak, karakter, moral, perilaku dan kepribadian para peserta didik. Dengan demikian, bagi manusia Muslim, hidup dan kehidupan di dunia ini memiliki tujuan utama yang sarat dengan nilai Ketuhanan, makna keagamaan dan muatan keilmuan.
Keempat, pendidikan Islam memberikan posisi dan derajat yang sangat tinggi kepada orang-orang terdidik, terpelajar, sarjana dan ilmuan. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah yang mengatakan bahwa Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman dan berilmu lebih tinggi beberapa derajat daripada orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan (QS Almujadalah: 11).
Dalam ayat lain, Allah menyuruh agar orang-orang yang tidak mengetahui tentang suatu hendaknya bertanya kepada orang-orang yang berilmu (para ilmuan atau pakar) agar mereka mengetahui (QS Annahl: 43). Ini berarti bahwa kegiatan pendidikan memegang peranan penting dan menjadi kunci yang strategis dalam menghasilkan orang-orang yang tercerahkan alam pikiran mereka, orang-orang yang terdidik, terpelajar, intelektual, ilmuan, pakar dan sarjana.
Kelima, pendidikan Islam berlangsung sepanjang hayat (life long education). Ini dapat dipahami dari hadits Nabi yang mengajarkan kepada umat Muslim untuk menuntut ilmu dari sejak buaian ibu sampai ke liang kubur. Pendidikan sepanjang hayat ini bisa dilakukan melalui jalur formal maupun jalur non-formal. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa – menurut konsep Islam – pendidikan tidak mengenal batas umur dan terus berlangsung sepanjang hayat. Selain itu, sarana dan prasarana belajar tidak hanya terbatas pada ruang kelas, akan tetapi bisa berlangsung di luar ruang kelas atau dalam kehidupan masyarakat luas. 
Keenam, pendidikan dalam konstruk ajaran Islam bersifat dialogis, inovatif dan terbuka. Artinya, Islam dapat menerima khazanah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan dari mana saja, baik dari Timur maupun dari Barat. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad pada masa hayat beliau tidak merasa alergi memerintahkan umatnya untuk menuntut ilmu pengetahuan walaupun ke negeri Cina.
Itu berarti bahwa dalam rangka meraih kemajuan-kemajuan di bidang sains dan teknologi, umat Muslim bisa belajar baik dari kemajuan Timur maupun dari kemajuan Barat sepanjang hal itu benar-benar positif dan bermanfaat untuk meningkatan bobot kreativitas, pencerahan intelektualitas dan keterampilan teknologis umat Muslim. Awal kebangkitan dan kemajuan peradaban umat Muslim Arab pada abad ke-8 M juga dipicu oleh intensitas dan ekstensitas upaya-upaya pembelajaran mereka secara kreatif-dialogis terhadap warisan budaya non-Muslim, yaitu ilmu dan teknologi Yunani klasik. Semua ini membuktikan bahwa seluruh proses pembelajaran dan totalitas aktivitas pendidikan dalam Islam bersifat dialogis, kreatif, inovatif dan terbuka.
Ketujuh, pendidikan Islam menyatupadukan dan menyelaraskan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat (Q.S. Alqashash: 77) dalam mencapai tujuan pendidikan. Ini secara jelas memperlihatkan perlunya dicapai prinsip keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat agar kaum Muslimin bisa tampil sebagai hamba Allah dan sekaligus sebagai khalifah Allah di bumi ini yang mampu mengelola alam semesta ini secara inovatif dan produktif untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.
Itu berarti bahwa alam semesta ini, menurut ajaran Islam, harus dipelajari, dieksplorasi dan dimanfaatkan secara maksimal demi kemakmuran manusia di dunia dalam rangka berbakti dan mengabdi kepada Sang Khalik, Pencipta alam semesta. Prinsip keseimbangan antara nilai-nilai duniawi dan nilai-nilai ukhrawi mendapatkan tekanan sentralistik dan integralistik yang setara dalam visi dan misi pendidikan Islam.
Kedelapan, pendidikan Islam menyeimbangkan antara pendidikan akal (intelektual) dan pendidikan moral-spiritual. Ini sesuai dengan fitrah-insaniyah asal kejadian manusia yang secara substansial terdiri dari unsur rohani dan unsur jasmani. Pendidikan intelektual bertujuan untuk mencerahkan dan mencerdaskan alam pikiran manusia, sedangkan pendidikan spiritual dan moral bertujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak dan berwatak baik.
Dalam pandangan Islam, pendidikan yang hanya menekankan pada sisi pengembangan dan peningkatan kecerdasan akal saja tidak cukup, akan tetapi harus disertai dengan pembinaan dan pemantapan perilaku-perilaku akhlak yang luhur dan pembentukan kepribadian yang baik. Nilai-nilai intelektual dan nilai-nilai moral-spiritual mendapat tekanan dan tempat yang wajar dan serasi dalam rancang-bangun sistem pendidikan Islam. Islam sangat menekankan pola keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, antara kecerdasan akal dan kecerdasan spiritual.
Kesembilan, pendidikan Islam – sesuai visi dan misinya – mempunyai tujuan harmonis untuk menyeimbangkan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat sehingga tidak terjadi ketimpangan dan kepincangan sosial dalam kehidupan masyarakat Muslim. Dengan menyeimbangkan pola-pola hubungan sosial itu, maka tatanan sosial dan harmoni keumatan yang ada dalam kehidupan masyarakat Muslim dapat terbina, terpelihara dan terjaga dengan baik.
Dengan demikian, seluruh masyarakat Muslim dengan masing-masing anggotanya akan menjalani arena kehidupan ini dalam gerak irama harmoni yang baik dan serasi. Setiap ketimpangan, kepincangan dan sekat pemisah sosial diupayakan untuk ditanggulangi dengan cara pengamalan ajaran-ajaran sosial Islami. Ajaran zakat, misalnya, dapat ditunjuk sebagi salah satu bukti dalam konteks ini. Orang-orang Islam yang memiliki kemampuan (kelebihan harta) diwajibkan berzakat kepada kaum dhuafa sebagai cara berbagi kebahagiaan dan sebagai cara pengejewantahan simpati dan solidaritas sosial yang mendalam. Prinsip keselarasan dan asas keseimbangan nilai-nilai individu dan masyarakat selalu mendapatkan tekanan penting dalam keseluruhan bangunan sistem pendidikan Islam.
Kesepuluh, pendidikan Islam bertujuan untuk memperkuat komitmen ‘hablun minallah’ (hubungan manusia dengan Allah) dan ‘hablun minannas’ (hubungan antara manusia dengan sesama manusia). Pendidikan Islam, pada tataran dimensi vertikal, bertujuan untuk memperkuat bangunan keimanan dan pilar-pilar ketakwaan manusia kepada Allah. Pada tataran dimensi horisontal, pendidikan Islam bertujuan untuk memperkukuh komitmen kemanusiaan dan mempertajam kepekaan solidaritas sosial dengan sesama manusia. Kedua paradigma dan dimensi ini mempertegas adanya korelasi signifikan bahwa nilai-nilai kesalehan Ilahiyah dan kesalehan ijtima’iyah (sosial kemasyarakatan) mendapat tekanan sepadan dalam konsep, filsafat dan sistem pendidikan Islam.
Kesebelas, pendidikan Islam – sesuai arah, visi dan misinya yang komprehensif, sinergis dan terpadu – sangat menghargai pencapaian prinsip keseimbangan pendidikan rohani dan pendidikan jasmani. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa manusia pada hakikatnya terdiri dari dua substansi, yaitu unsur rohani dan jasmani. Keduanya memerlukan latihan dan pembinaan secara tepat dan wajar agar tercipta landasan rohani yang sehat dan bangunan jasmani yang kuat dalam membangun integritas kepribadian dan menumbuhkan karakter yang baik dalam diri para anak didik.
Ditinjau dari sudut input (masukan) dan output (keluaran), pendidikan Islam sama sekali tidak bertujuan untuk menghasilkan sosok manusia yang kondisi rohaninya sehat, tetapi kondisi fisiknya lemah atau tidak kuat. Sebaliknya, pendidikan Islam sama sekali tidak menghendaki sosok anak didik yang keadaan fisiknya sehat dan kuat, tetapi keadaan rohaninya keropos dan tidak sehat. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa nilai-nilai rohaniah dan nilai-nilai jasmaniah mendapat perhatian yang baik, serasi, sinergis dan seimbang dalam konsep, filsafat dan sistem pendidikan Islam.
Keduabelas, Islam mengajarkan prinsip ’education for all’ (pendidikan untuk semua). Semua calon peserta didik tanpa memandang jenis kelamin, jender, latar belakang etnis, budaya dan strata sosial memiliki akses dan kebebasan yang sama untuk memperoleh dan mengenyam pendidikan secara layak dan baik. Islam adalah agama persamaan, agama yang memandang semua manusia adalah sama (equal) di hadapan Allah. Prinsip persamaan ini pulalah yang menjiwai pendidikan Islam itu dalam arti semua orang atau semua calon peserta didik mempunyai persamaan, peluang, akses, dan kebebasan yang sama untuk mendapatkan pelayanan pendidikan secara layak dan baik.    
Prinsip-prinsip sistem pendidikan Islam yang dikemukakan di atas merupakan suatu pemahaman awal untuk melihat dan menggali nilai-nilai dasar integralistik pendidikan Islam. Upaya-upaya para pakar dan praktisi pendidikan Islam untuk terus melakukan rekonstruksi pemikiran dan pelaksanaan pendidikan Islam secara dialektis-inovatif sangat diperlukan mengingat semakin perlunya disusun suatu sistem baru pendidikan Islam dalam rangka menggeluti dan menggumuli abad ke-21 atau milenium ketiga.
Lebih-lebih Umat Muslim kini berada dalam babakan perjalanan sejarah moderen yang ditandai dengan semakin gencarnya kompleksitas tantangan modernitas yang dewasa ini menghadang Umat Muslim di setiap lini kehidupan. Respons umat Muslim yang tepat, dinamis, kreatif, inovatif dan progresif terhadap berbagai kompleksitas tantangan modernitas tadi akan sangat menentukan corak, mutu dan kualitas pendidikan Islam dan hasil-hasilnya di masa depan.

Faktor Penggerak Kemajuan

Antara abad ke-8 sampai abad ke-13 Masehi, umat Muslim-Arab (Daulah Abbasiyah di Baghdad dan Dulah Umayyah di Cordova-Spanyol) telah mencapai puncak prestasi di bidang pendidikan dan peradaban dunia yang tidak tertandingi oleh bangsa-bangsa lain di seluruh dunia pada waktu itu, termasuk oleh Barat sekali pun. Lompatan pencapaian spektakuler para sarjana Muslim dan para pakar Arab di bidang pendidikan dan peradaban pada masa itu terjadi setelah mereka mengolah dan mengembangkan hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi Yunani klasik. Pada abad-abad tersebut umat Muslim Arab benar-benar menikmati masa kejayaan dan masa keemasan peradaban yang tiada taranya, termasuk di bidang pendidikan dari tingkat pendidikan dasar ke tingkat pendidikan tinggi di seantero negeri.
Pusat-pusat penting pendidikan dan lembaga-lembaga ilmu pengetahunan Islam pada masa itu antara lain adalah Madrasah Nizamiyah di Baghdad, Darul Hikmah, Universitas Cordova (di Andalusia/Spanyol-Islam), dan pada masa kemudian Universitas Al-Azhar (di Kairo, Mesir). Nama-nama besar filosof dan ilmuan Muslim seperti Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Tufail, Ibnu Bajjah, Al-Khwarizmi, dan Jabir Ibnu Hayyan menghiasi lembaran-lembaran ilmiah dalam sejarah kegemilangan peradaban Muslim pada masa itu.
Philip K. Hitti dalam bukunya yang menarik berjudul The Arabs: A Short History mengatakan bahwa pada saat umat Muslim Arab telah mencapai puncak peradaban dunia, pada saat itu orang-orang Barat, terutama kalangan pendeta mereka, baru belajar menulis dan mengeja huruf. Montgomery Watt, salah seorang orientalis Barat termasyhur, dalam bukunya yang terkenal berjudul The Influence of Islam on Medieval Europe, secara jujur mengakui kebesaran dan kejayaan umat Muslim Arab serta sumbangannya terhadap Barat pada Abad Pertengahan. Dalam bukunya yang lain, Islamic Spain, Montgomery Watt juga merekam dan memaparkan secara jujur dan obyektif tentang prestasi-prestasi ilmiah para sarjana Muslim dalam segala segi dan cabangnya yang telah mereka capai pada masa keemasan peradaban Islam  itu.
Puncak-puncak prestasi ilmiah yang terjadi pada Zaman Keemasan Peradaban Islam (The Golden Age of Islamic Civilization) ini sampai kini terekam dalam catatan lembaran sejarah. Madrasah Nizamiyah, Universitas Cordova dan Universitas Al-Azhar menjadi bagian penting yang menandai puncak-puncak prestasi ilmiah yang dicapai oleh para sarjana Muslim pada masa itu. Pada waktu itu tidak ada dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler. Semuanya dinamakan ilmu-ilmu Islam. Pembagian dan pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler baru datang kemudian dan merupakan konsep sekuler Barat.
Pertanyaan logis dan kritis yang muncul kemudian adalah: mengapa pada masa itu pendidikan dan peradaban Muslim mampu menghasilkan banyak filosof, ilmuan, sarjana dan pakar di bidang keahlian mereka  masing-masing? Tentu saja ada banyak faktor yang dapat dikemukakan di sini. Secara umum, faktor-faktor dominan yang menjadi pendorong gerak laju kemajuan pendidikan dan peradaban Muslim Arab pada masa itu antara lain dapat disebut sebagai berikut.
Pertama, pijar-pijar ruh jihad dan ijtihad yang bersumber dari mutiara-mutiara ajaran Islam (Alqur’an dan hadits) benar-benar menjiwai semangat dan motivasi para sarjana Muslim pada waktu itu. Mental ilmiah dan budaya akademis yang mereka miliki menjadi faktor pendorong utama dan pemacu penting bagi mereka dalam mengembangkan filsafat, sains, dan teknologi sehingga mencapai taraf yang sangat tinggi dan tak tertandingi oleh bangsa-bangsa lain pada masanya.
Kedua, para ilmuan Muslim pada waktu itu benar-benar bersikap kreatif-inovatif dan membuka dialog kultural secara intensif dan melakukan dialog ilmiah selebar-lebarnya dengan seluruh warisan sains dan teknologi Yunani klasik. Para ilmuan Muslim secara intensif dan ekstensif menimba, menyerap dan mengembangkan seluruh khazanah kekayaan ilmu pengetahuan dan teknologi Yunani klasik itu. Dan, pada gilirannya, para ilmuan Muslim tadi secara kreatif-inovatif-progresif berhasil menciptakan dan mengembangkan sendiri sains dan teknologi yang bercorak khas Islam.
Ketiga, pembangunan dan pengembangan sektor pendidikan yang menghasilkan keluaran-keluaran (outputs) yang sangat bagus, baik dalam arti kualitas maupun kuantitas. Pusat-pusat pendidikan, pembelajaran, penerjemahan, kegiatan ilmiah dan penelitian berkembang secara luas di Baghdad, Cordova, dan kota-kota penting lainnya di kekhalifahan Bani Abbasiyah (dunia Islam di Timur) dan di kekhalifahan Bani Umayyah (dunia Islam di Barat). Madrasah Nizamiyah, Baitul Hikmah, Universitas Cordova dan Universitas Al-Azhar dapat ditunjuk sebagai contoh pusat-pusat kegiatan ilmiah, intelektual dan akademis yang sangat menarik dan mengesankan.
Keempat, dukungan material-finansial yang sangat besar dari para khalifah terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memacu pengembangan sains dan teknologi dan juga terhadap para ilmuan dan sarjana pada waktu itu. Para khalifah sendiri sangat mencintai ilmu. Misalnya, Khalifah Al-Makmun di Baghdad sangat mencintai ilmu dan mempunyai perpustakaan yang mendapat perhatian langsung dari sang khalifah. Begitu pula khalifah Abdurrahman III di Cordova sangat menaruh perhatian terhadap pengembangan ilmu. Kedua khalifah ini tak segan-segan memberikan dukungan finansial yang amat besar kepada para ilmuan untuk menulis karya-karya ilmiah dan untuk kepentingan-kepentingan ilmiah lainnya.
Kelima, faktor sosial budaya, ekonomi dan politik yang sangat mendukung dan kondusif, baik di kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad maupun di kekhalifahan Bani Umayyah di Cordova, terutama ketika kedua pusat pemerintahan Islam itu berada pada puncak-puncak kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan. Perdagangan, bisnis, industri, pertanian, moneter/keuangan, politik, keamanan dan militer di kedua pusat pemeritahan Islam itu, pada masa kejayaan dan kebesarannya, sangat stabil dan mantap. Dan semua faktor ini sangat menunjang kemajuan sains dan teknologi yang terus dikembangkan secara kreatif-inovatif-produktif oleh para sarjana dan pakar Muslim pada waktu itu.
Para dosen, guru besar, pelajar/mahasiswa dan penyelenggara pendididikan pada khususnya dan anggota masyarakat pada umumnya pada masa-masa puncak keemasan peradaban Baghdad dan masa-masa kejayaan peradaban Cordova sama-sama merasakan berbagai kemakmuran, kesejahteraan dan keamanan sehingga mereka semua benar-benar dapat berkonsentrasi pada bidang pembelajaran dan dunia pendidikan. Semua faktor ini telah mengangkat dan menjadikan Baghdad dan Cordova sebagai dua pusat peradaban dunia yang sangat bergengsi, moderen dan canggih pada masanya.
Dengan mengemukakan fakta-fakta historis di atas, saya ingin mengatakan bahwa karya besar Umat Islam di bidang pendidikan, peradaban dan ilmu pengetahuan pada waktu itu tak lain merupakan hasil spektakuler dari pelaksanaan sistem pendidikan Islam yang benar, baik dan berkualitas tinggi. Nilai-nilai integralistik pendidikan yang Islami-Qur’ani, pada tataran doktrin dan praktik, benar-benar diterapkan dan dilaksanakan oleh umat Muslim pada masa itu sehingga sistem pendidikan Islam tertata dan berfungsi secara integral, utuh, padu dan sinergis. Terdapat sinergisitas antara input dan output-nya sehingga menghasilkan para sarjana, pakar dan ilmuan yang berkualitas tinggi.

Faktor Penyebab Kemerosotan

Telah dipaparkan di atas bahwa, secara teologis-filosofis, Islam memiliki keunggulan-keunggulan dalam hal konsep pendidikan bila dibandingkan dengan konsep pendidikan lain (seperti sistem pendidikan sekuler dan sistem pendidikan Komunis). Akan tetapi, pada tataran praktik, umat Muslim Indonesia (dan Umat Islam di seluruh dunia) dewasa ini pada umumnya tidak/kurang mampu menerjemahkan dan menerapkan nilai-nilai integralistik pendidikan Islam tadi ke dalam dataran realitas kehidupan. Secara umum, kondisi pendidikan Islam, baik secara kualitas maupun kuantitas, di mana saja di seluruh Dunia Muslim tidak/kurang menggembirakan. Terjadi jurang pemisah yang besar antara cita pendidikan yang diidealkan dalam Alqur’an dan realita yang terjadi dalam kehidupan keumatan. Dengan kata lain, dalam penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh Umat Muslim itu, ada kesenjangan atau jurang yang sangat lebar antara idealitas doktrin agama dan realitas pengamalan, antara  cita dan fakta. Mengapa hal ini terjadi? 
Jawaban atas pertanyaan di atas tentunya harus dikaitkan dengan variabel-variabel sosial budaya, sejarah, ekonomi dan politik yang terjadi di lingkaran internal Umat Muslim di satu pihak dan faktor-faktor eksternal lainnya yang mempengaruhi perjalanan kehidupan Umat Muslim di pihak lain. Semua variabel dan faktor ini saling mengait dan membentuk suatu situasi dan kondisi obyektif yang mempengaruhi perjalanan sejarah yang mengitari sisi-sisi suram masa lampau umat Muslim. Variabel-variabel sosial budaya, ekonomi, politik dan sejarah yang ikut menentukan sosok kehidupan umat Muslim dewasa ini terasa sangat kompleks. Jurang pemisah yang besar antara cita dan realita pendidikan Islam disebabkan antara lain oleh faktor-faktor berikut.
Pertama, pada masa-masa akhir pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad dan pemerintahan Bani Umayyah di Cordova (Andalusia/Spanyol), terjadi proses pengeroposan kekuasaan politik dalam bentuk perebutan tahta kekhalifahan. Perebutan tahta kekuasaan ini berujung pada pembunuhan politik oleh seorang putra mahkota terhadap putra mahkota yang lain. Masa pemerintahan seorang khalifah berlangsung singkat karena ia digulingkan atau dibunuh oleh putra mahkota lainnya. Di samping pengeroposan kekuasaan, terjadi pula pembusukan moral dalam bentuk meluasnya cara hidup hedonistis-sekularistis-materialistis dalam kehidupan para khalifah dan dan para penguasa di lapisan elite pemerintahan.
Cara hidup hedonistis-materialistis, hidup mewah dan kecenderungan sekuler sudah meluas di kalangan para elite penguasa. Itulah sebabnya, dapat dipahami jika dalam waktu yang bersamaan di berbagai tempat muncul pula gerakan-gerakan sufistik/tasawuf dan aliran-aliran tarekat sebagai bentuk protes terhadap pola kehidupan para penguasa yang dirasuki oleh gaya hidup hedonistik-materialistik-sekularistik itu. Gerakan-gerakan sufistik ini mengambil jarak dengan cara hidup para penguasa negara yang sekularistik-materialistik itu, dan para sufi itu tidak ingin terhanyut ke dalam pusaran arus kehidupan duniawi yang demikian. Para sufi itu pada ahkirnya mengambil jalan dengan cara menempuh dan memperkaya olah kerohanian dan ketakwaan sebagai tarekat (jalan) menuju Tuhan.
Pembusukan moral dengan segala dampak negatifnya yang terjadi di kalangan para penguasa negara itu semakin parah dari waktu ke waktu dan mengakibatkan semakin keroposnya sendi-sendi pemerintahan dan moralitas para khalifah di Baghdad dan Cordova. Akibat pertarungan politik internal di kalangan elite pemerintahan, kekuatan politik dan militer di kedua pusat pemerintahan Muslim itu semakin merosot, terpuruk, dan keropos. Situasi ini diperparah oleh menjamurnya akumulasi pola kehidupan materialistik-sekularistik yang bagaikan kanker menggerogoti sendi-sendi kekuasaan kedua dinasti itu.
Sebagai klimaksnya, peradaban Baghdad pun hancur secara tragis pada tahun 1258 M ketika pasukan Hulagu Khan dari Kerajaan Mongol secara bengis dan kejam melakukan invasi ke kota itu. Tidak lama kemudian peradaban Islam di Cordova juga remuk menyusul terjadinya perebutan kembali Andalusia oleh pasukan Kristen. Kehancuran peradaban Islam di dua pusat kekhalifahan yang megah itu menyebabkan pula terjadinya keruntuhan pendidikan Islam secara tragis.
Kedua, dari abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-20 Masehi (sekiltar 4 abad atau empat ratus tahun), umat Muslim di seluruh dunia (dari Marokko sampai ke Indonesia) dijajah oleh kekuatan-kekuatan kolonialis-imperialis Barat. Penjajahan ini telah menyebabkan seluruh umat Muslim (termasuk umat Muslim Indonesia) tereksploitasi, terhisap, tertindas, dan terkapar dalam lumpur kebodohan dan nestapa kubangan limbah keterbelakangan. Segala potensi dan energi hanya dimobilisasikan oleh umat Muslim untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Karena itu, sektor dan kondisi pendidikan Islam di negeri-negeri Muslim sangat terabaikan dan terlantar.
Ketiga, Islam yang datang dan menyebar ke berbagai belahan kawasan dunia (yang sekarang dikenal sebagai negeri-negeri Muslim) adalah Islam Pasca-Baghdad atau Islam Pasca-Cordova yang telah kehilangan elan vital, potensi ilmiah dan dinamika intelektualitasnya. Karena itu, sistem pendidikan dan kemampuan ilmiah di kalangan umat Muslim di seluruh dunia pada umumnya (termasuk umat Muslim Indonesia) kurang berkembang karena tidak/kurang bermuatan olah pikir dan olah nalar. Pada sisi lain, Islam yang datang ke berbagai belahan dunia pasca-Baghdad dan pasca-Cordova itu pada umumnya adalah Islam yang bercorak mistik-sufistik yang secara dominan terboboti oleh olah rasa dan olah zikir.
Keempat, kondisi sosial ekonomi di kalangan bagian terbesar umat Muslim (termasuk umat Muslim Indonesia) yang masih tidak begitu menggembirakan. Kemiskinan finansial dan kemiskinan struktural masih merupakan momok dan tantangan yang serius di kalangan bagian terbesar umat Muslim. Bangsa-bangsa Muslim Arab di kawasan Timur Tengah dengan kekayaan minyak yang melimpah ruah dan gemerincing petro dolar mereka memang dapat digolongkan sebagai negara-negara kaya.
Namun, dilihat dari ukuran internasional, mereka belum dapat dikatakan telah menyamai kemajuan pendidikan di negara-negara sekuler Barat. Buktinya, banyak mahasiswa dan staf pengajar dari bangsa-bangsa Muslim (termasuk dari bangsa-bangsa Arab dan umat Muslim Indonesia) yang belajar di universitas-universitas Barat, terutama di  bidang teknologi atau ilmu-ilmu umum. Masih diperlukan kecakapan, kemampuan, keahlian, dan waktu lebih banyak lagi bagi bangsa-bangsa Muslim yang kaya minyak di Timur Tengah untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan Islam.
Kelima, pada masa lalu ketika gerakan emansipasi dan gerakan kesetaraan jender belum bergulir di kalangan negara-negara Muslim, terdapat adat istiadat yang tidak/kurang mendorong kaum perempuan untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi. Sudah tentu, hal ini menjadi salah satu kendala tidak senerginya antara cita dan realita dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Sebenarnya, hal ini lebih disebabkan oleh kungkungan dan pasungan adat istiadat yang tumbuh dan berkembang di kalangan bangsa-bangsa Muslim, bukan disebabkan oleh doktrin Islam itu sendiri.
Adat istiadat yang berorientasi pada sistem patriarki menjadi salah satu sebab tersisihnya kaum perempuan di ruang publik, termasuk dalam kesempatan belajar, menuntut ilmu, bekerja dan berpartisipasi dalam dunia pendidikan. Dengan meluasnya gerakan-gerakan kaum feminis Muslim yang menyuarakan ide emansipasi dan gerakan-gerakan kesetaraan jender, tradisi yang berorientasi pada budaya patriarki ini sudah mulai ditinggalkan di kalangan Umat Muslim di seluruh dunia. Sudah banyak kaum perempuan yang menikmati peluang-peluang yang sama dengan kaum laki-laki dalam memperoleh kesempatan belajar, menuntut ilmu dan berpartisipasi dalam aktivitas pendidikan serta kegiatan-kegiatan sosial lainnya.

Kondisi Umum Pendidikan Islam di Indonesia

Sebelum secara khusus melongok kondisi pendidikan Islam di Indonesia, ada baiknya sekilas kita melihat keadaan pendidikan Islam di luar Indonesia. Kita ikut merasa bangga, misalnya, dengan Universitas Al-Azhar (Kairo, Mesir) yang sampai saat ini masih tetap menjadi lambang kemajuan ilmu-ilmu keislaman di Dunia Islam. Sejak tahun 1960, Universitas Al-Azhar telah membuka program studi ilmu-ilmu umum seperti kedokteran, teknik, pertanian, dsb., sementara ia tetap secara konsisten menyelenggarakan program studi-studi keislaman yang bersifat khas seperti tafsir, ushuluddin, hukum Islam, tarikh, dst. Banyak mahasiswa dari negara-negara Muslim di seluruh dunia yang berdatangan ke Universitas Al-Azhar untuk belajar ilmu-ilmu keislaman sesuai dengan bidang studi dan disiplin keilmuan mereka masing-masing. 
Kita pun ikut merasa bangga dengan Universitas Islam Antarbangsa (International Islamic University) yang ditempatkan di Malaysia dan memiliki daya pikat tersendiri di kalangan umat Muslim di seluruh dunia. Para alumni dari kedua universitas ini (dan universitas-universitas Islam lainnya di seluruh Dunia Muslim) akan dapat memberikan pencerahan intelektual dan menyumbangkan kemajuan edukasional-kultural bagi Umat Muslim secara keseluruhan. Setahap demi setahap terjadi peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan di kalangan bangsa-bangsa Muslim di dunia.
Terobosan-terobosan baru pemikiran, rancang bangun dan upaya-upaya solutif sangat perlu untuk dilakukan oleh Umat Muslim di seluruh Dunia Islam (terutama para perencana dan penyelenggara pendidikan Islam) dalam rangka menjawab dan mengatasi berbagai kompleksitas tantangan modernitas di bidang kependidikan Islam dewasa ini. Tantangan-tantangan itu dan sekaligus berbagai respons terhadap tantangan-tantangan tersebut tampaknya sudah disadari oleh para perancang, pengambil kebijakan, pengelola dan penyelenggara pendidikan Islam, baik di tingkat nasional (Indonesia) maupun di tingkat internasional (Dunia Islam).
Sekarang, mari kita lihat kondisi pendidikan pada umumnya dan kondisi pendidikan Islam khususnya di Indonesia. Menurut Mendiknas Muhammad Nuh (Kompas, 18 September 2010, hlm. 12), daya saing pendidikan dasar dan tinggi Indonesia secara global pada tahun 2010 ini mengalami peningkatan. Mendiknas berharap pencapaian tersebut dapat menjadi modal utama yang akan terus mendorong peningkatkan kondisi dan kualitas pendidikan yang semakin mendongkrak daya saing bangsa Indonesia dalam kancah internasional. Realitas peningkatan ini didasarkan pada laporan dari The Global Competitiveness Report 2010-2011 yang dirilis oleh Forum Ekonomi Dunia baru-baru ini. Laporan tersebut menyebutkan bahwa indeks daya saing global (global competitiveness index) Indonesia meningkat, yaitu berada di peringkat ke-44 dari 139 negara. Sedangkan tahun lalu (2009), posisi Indonesia berada di peringkat ke-54 dari 133 negara. Jadi naik 10 tingkat. Kenaikan sebanyak 10 tingkat dalam satu tahun memperlihatkan adanya peningkatan daya saing global Indonesia yang signifikan.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN, peringkat daya saing global Indonesia masih di bawah negara-negara tetangga kita. Singapura menempati peringkat ke-3, Malaysia di posisi ke-26, Brunei Darussalam di peringkat ke-28 dan Thailand di posisi ke-38. Perbaikan daya saing global Indonesia terutama disebabkan oleh kondisi makro ekonomi yang lebih sehat. Selain itu, indikator-indikator pendidikan di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan tinggi juga lebih baik. Di bidang pendidikan dasar, terjadi peningkatan kualitas dari posisi ke-58 ke peringkat 55 dan peningkatan partisipasi pendidikan dari peringkat ke-56 ke posisi 52. Daya saing global Indonesia didongkrak pula oleh peningkatan pendidikan tinggi dan pelatihan. Indikatornya dapat dilihat dari peningkatan partisipasi pendidikan, kualitas sistem pendidikan, kualitas matematika dan sains, akses internet di sekolah dan pelatihan staf.
Selanjutnya, terjadi pula peningkatan di bidang inovasi. Peningkatan di bidang inovasi ini didorong oleh adanya kerja sama penelitian antara kalangan industri dan perguruan tinggi yang semakin baik. Hasil positifnya adalah kolaborasi antara kalangan universitas dan industri di Indonesia menduduki peringkat ke-26. Akan tetapi, di balik indikator-indikator perbaikan pendidikan tadi, beberapa indikator lainnya yang juga sangat penting justru mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari merosotnya indikator partisipasi pendidikan menengah, kualitas manajemen sekolah, kualitas lembaga penelitian, serta ketersediaan lembaga penelitian dan pelatihan di tingkat lokal. 
Peningkatan daya saing pendidikan di Indonesia telah menempatkan 8 perguruan tinggi (PT) Indonesia masuk dalam daftar peringkat atas universitas dunia pada tahun 2010 ini. Dalam laporannya (lihat Kompas, 20 September 2010, hlm. 12), QS World University Ranking menempatkan Universitas Indonesia (UI, Jakarta) di ranking ke-236 dan merupakan satu-satunya PTN Indonesia yang masuk dalam daftar jajaran 300 peringkat atas universitas di dunia. PT lainnya yang masuk dalam daftar peringkat atas universitas dunia adalah Universitas Gadjah Mada (peringkat 321), Institut Teknologi Bandung (urutan 401-450), Universitas Airlangga (ranking 451-500) dan Institut Pertanian Bogor (posisi 501-550). Selanjutnya, Universitas Diponegoro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember dan Universitas Brawijaya masuk dalam daftar jajaran peringkat 601+.
Dibandingkan dengan keadaan tahun lalu (2009), posisi beberapa universitas di Indonesia merosot pada tahun 2010 ini. Tahun 2009, UI menempati ranking ke-201 universitas top di dunia, tapi berada di posisi ke-236 di tahun 2010 ini. Di lingkungan negara-negara ASEAN, UI berada di posisi ke-6. UGM tahun lalu berada di peringkat ke-250, tapi melorot ke posisi 321 pada tahun 2010 ini. Walaupun demikian, beberapa bidang ilmu di sejumlah universitas di Indonesia bisa tembus masuk ke dalam daftar peringkat ke-100 dunia. Ilmu sosial UI menempati posisi ke-95 di tingkat dunia. Bidang teknik dan teknologi informasi ITB menduduki urutan ke-93 di level internasional.
Perlu dicatat, pada tahun 2010 ini Universitas Cambridge (Inggris) meraih posisi pertama dalam jajaran peringkat atas universitas dunia. Posisi prestisius yang diraih oleh Universitas Cambridge ini menggantikan posisi Universitas Harvard (AS) yang sejak tahun 2004 selalu menempati peringkat pertama.           
Peta dan kondisi pendidikan seperti diutarakan di atas secara umum menggambarkan terjadinya perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Kita berharap Kementerian Pendidikan Nasional dan seluruh jajaran praktisi pendidikan di Tanah Air terus berupaya untuk memajukan bidang pendidikan ini karena pendidikan adalah kunci kemajuan. Perlu dicari terobosan-terobosan baru yang dapat menjadikan dan mengangkat pendidikan tinggi di Indonesia sehingga dapat berkualitas dan berkelas dunia.
Sejauh menyangkut pendidikan Islam, perlahan-lahan tapi pasti kita secara jelas menyaksikan berbagai gerak dinamika dan arus perkembangan-perkembangan yang cukup signifikan. Di tingkat pendidikan dasar telah banyak muncul sekolah-sekolah unggulan yang bermutu seperti SD Muhammadiyah Sapen (Yogyakarta), SD Al-Azhar (Jakarta), SD Al-Izhar, dsb. Di tingkat pendidikan menengah pertama (SMP), banyak pula sekolah yang didirikan dan dikelola oleh Muhammadiyah dan yayasan-yayasan pendidikan Islam lainnya yang memiliki mutu dan kualitas yang menggembirakan dan patut dibanggakan. 
Di tingkat pendidikan menengah atas, kemajuan pendidikan Islam ditandai dengan, misalnya, pendirian sekolah-sekolah menengah atas yang berkualitas. SMA Muthahari, SMA Madania, MAN Insan Cendekia (Serpong), SMA Al-Azhar dan SMA Al-Izhar adalah sederet contoh yang dapat disebutkan. Fenomena perkembangan-perkembangan ini lebih menjadi menarik lagi karena disertai pula oleh maraknya pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam tradisional (pesantren) dalam jumlah yang sangat besar (diperkirakan berjumlah 12.000 buah) dan tersebar di seluruh pelosok tanah air. Pesantren ini sebagian ada yang masih bercorak salaf (menggunakan rujukan kitab-kitab kuning dengan sistem pengajaran sorogan dan wetonan) dan sebagian lagi ada yang bercorak khalaf (sistem kelas dan program studi berjenjang dan terstruktur). Fenomena yang sangat menarik adalah prestasi yang dicapai oleh Pondok Modern Gontor. Pondok ini telah membuka cabang-cabangnya di banyak provinsi di Indonesia dengan tetap memakai sistem Gontor. Bahasa Arab dan Inggris menjadi dua bahasa untuk berkomunikasi di pondok ini.
Kemajuan-kemajuan menarik di tingkat perguruan tinggi secara fenomenal ditandai dengan pendirian banyak universitas Islam di kota-kota besar di Indonesia, antara lain Universitas Muhammadiyah (Malang, Surakarta, Yogyakarta, Sidoarjo, Jakarta, Kupang, Magelang), Universitas Islam Malang (Unisma), Universitas Darul Ulum (Jombang), Unissula/Universitas Islam Sultan Agung  (Semarang), UII/Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta), Universitas Islam Cokroaminoto (Yogyakarta), Universitas Islam Jakarta, Universitas Hamka (Jakarta), Universitas Ibnu Khaldun (Bogor), Unisba/Universitas Islam Bandung (Jawa Barat), Uninus/Universitas Islam Nusantara (Bandung), Universitas Paramadina (Jakarta), Universitas Muslim Makassar, dsb.
Di samping perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam swasta tadi, ada pula STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri), IAIN (Institut Agama Islam Negeri) dan UIN (Universitas Islam Negeri) yang didirikan, dikelola dan didanai oleh pemerintah (Kementerian Agama) yang tersebar di seluruh Tanah Air. STAIN didirikan di banyak kota kabupaten, sedang IAIN dibangun di banyak kota provinsi. Sudah ada enam UIN yang ditransformasikan dari IAIN. Keenam UIN tersebut adalah: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Malang, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, dan UIN Alauddin Makassar. Keenam UIN tersebut telah membuka program S-2 dan program S-3 dengan penekanan spesialisasi keilmuan masing-masing. Selain program studi ilmu-ilmu agama, UIN juga telah menawarkan program studi ilmu-ilmu umum seperti biologi, fisika, matematika dan kedokteran.
Melihat berbagai fenomena yang terjadi di atas, kita berkesimpulan bahwa dewasa ini sedang terjadi fenomena perkembangan yang sangat menarik dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia sebagaimana dipaparkan di atas. Kendatipun demikian, keberadaan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam di atas masih terasa kurang karena belum seimbangnya antara jumlah masyarakat Muslim Indonesia dan lembaga-lembaga pendidikan yang mereka miliki. Hal ini terbukti masih banyak murid, pelajar dan mahasiswa yang belum tertampung secara signifikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Inilah kenyataan yang cukup ironis dan memperihatinkan! 
Dewasa ini masih banyak murid, pelajar dan mahasiswa Muslim yang belajar di lembaga-lembaga pendidikan non-Islam dan keadaan seperti ini terjadi dalam kurun waktu yang sangat panjang. Dengan cara yang sangat simplistik, cepat dan gampang, kita sering menyayangkan dan bahkan “mempersalahkan” para murid, pelajar dan mahasiswa Muslim yang bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan non-Muslim tadi. Kita percaya cara pandang dan sikap demikian tidak tepat dan tidak menyelesaikan persoalan yang melilit dunia pendidikan Islam. Sebaiknya kita melakukan kritik diri terhadap keadaan pendidikan kita yang masih memerlukan penataan dan pengembangan yang lebih rapi, maju dan moderen berdasarkan sistem manajemen yang profesional.

Berpacu ke Masa Depan

Demikianlah, secara umum, kondisi umum dunia pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini. Untuk lebih berpacu dan menata diri ke masa depan, sudah saatnya umat Muslim Indonesia (dan Umat Muslim di seluruh dunia) melakukan segala daya dan upaya untuk lebih memperbaiki kualitas dan meningkatkan mutu pendidikan Islam. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Umat Muslim Indonesia untuk merespons dan menanggulangi kompleksitas tantangan modernitas di bidang pendidikan Islam ini harus bersifat komprehensif, integral dan solutif. Upaya-upaya penting dan strategis yang harus dilakukan oleh umat Muslim Indonesia (dan Umat Islam di seluruh dunia), terutama oleh para pembuat kebijakan, perencana dan penyelenggara pendidikan Islam, antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama, para perencana dan penyelenggara pendidikan Islam hendaknya menerapkan secara konsisten nilai-nilai dasar integralistik Islam (12 butir sebagaimana telah diuraikan di atas) ke dalam seluruh bangunan visi, orientasi dan misi pendidikan sehingga format penataan dan penyelenggaraan sistem pendidikan Islam mempunyai fondasi teologis-filosofis sebagai titik pangkal dan sekaligus sebagai tujuan akhir dari pendidikan Islam itu sendiri. Fondasi teologis-filosofis-Qur’ani yang kukuh dan kuat yang melandasi sistem pendidikan Islam sudah pasti akan mampu bertahan terhadap berbagai gelombang benturan paham, filsafat, ideologi dan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Islam.
Kedua, para perancang dan pelaksana pendidikan Islam hendaknya secara kontinyu melakukan pembaruan kembali (reorientasi, reformasi, rekonstruksi, reaktualisasi dan restrukturisasi) sistem pendidikan Islam yang sudah dirasa kurang memadai atau tidak relevan lagi dengan denyut perkembangan zaman. Modernisasi dan reformasi sistem pendidikan Islam ini sangat diperlukan untuk menyesuaikannya dengan kondisi terkini sehingga dengan demikian sistem pendidikan Islam itu selalu up to date (sesuai dengan kemajuan zaman) dan tidak out of date (ketinggalan zaman). Sistem pendidikan dapat saja direkonstruksi dan direstrukturisasi, tetapi muatan falsafah-Qur’aniyah dan nilai-nilai dasar integralistik pendidikan Islam harus tetap menjadi prinsip landasan strategis yang tidak bisa diubah atau diganti.
Ketiga, para pembuat kebijakan dan penyelenggara pendidikan Islam hendaknya menggunakan segala daya dan upaya untuk terus menerus melakukan pembaruan seluruh muatan kurikulum pada setiap jenjang dan satuan pendidikan (dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi) agar muatan kurikulum tadi sesuai dengan gerak perkembangan terkini di bidang sains dan teknologi. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelajari dan diserap oleh para pelajar dan mahasiswa Muslim selalu sesuai dengan denyut perkembangan sains dan teknologi mutakhir.
Keempat, para pengambil kebijakan dan pelaku pendidikan Islam hendaknya secara konsisten tetap mempertahankan dan menyelenggarakan program studi ilmu-ilmu keislaman (dirasat Islamiyah) yang bersifat khas (seperti bahasa Arab dengan segala cabangnya, tafsir Alqur’an, hadits, hukum Islam, fikih dan ushul fikih, tauhid, tarikh, dst) dengan selalu meningkatkan bobot materi dan mutu penyajiannya dengan menggunakan metode pengajaran dan pendidikan yang terpadu dan sinergis. Karena program studi inilah yang secara mendasar memberi ciri khas dan jati diri lembaga pendidikan Islam pada semua satuan dan jenjang pendidikan.
Kelima, para perancang dan praktisi pendidikan Islam hendaknya mengembangkan tradisi akademik, budaya ilmiah dan mental ilmu di kalangan staf pengajar dan para pelajar/mahasiswa. Karena salah satu aspek kemajuan pendidikan Islam bisa diukur dari kekuatan tradisi akademik, budaya ilmiah dan mental ilmu yang dimiliki oleh para staf pengajar dan para pelajar/mahasiswanya. Tanpa didukung oleh tradisi akademik, budaya ilmiah dan mental ilmu yang kuat, suatu lembaga pendidikan Islam akan sulit untuk berkembang secara pesat.
Keenam, para perencana dan praktisi pendidikan Islam hendaknya menyelenggarakan program-program peningkatan kualitas akademis bagi seluruh staf pengajar melalui program studi S-2 dan S-3 baik di dalam maupun di luar negeri. Terkait juga dengan masalah ini adalah penyelenggaraan program pelatihan penelitian, baik bagi staf pengajar maupun bagi para mahasiswa. Dengan demikian, kemampuan ilmiah-akademis dan kemampuan meneliti para dosen dan mahasiswa akan terus meningkat. Semakin berkualitas para staf pengajar dan para mahasiswa pada suatu perguruan tinggi Islam, semakin berbobot pula kualitas akademis dan kualitas kemampaun meneliti di kalangan mereka.
Ketujuh, para pelaku dan aktivis pendidikan Islam hendaknya mengembangkan berbagai program kerja sama ilmiah, penelitian dan pertukaran pendidikan antar-lembaga pendidikan (tinggi) Islam pada tingkat nasional dan tingkat internasional. Program seperti ini sangat penting karena bertujuan untuk terus meningkatkan kualitas ilmiah-akademis, kualitas kemampuan meneliti, dan memperluas cakrawala pemikiran dan wawasan ilmiah di kalangan staf pengajar dan para mahasiswa. Selain itu, program kerja sama demikian akan bermanfaat bagi tukar menukar keilmuan dan informasi yang sangat diperlukan dalam rangka saling memajukan kualitas pendidikan Islam.
Kedelapan, para pengambil kebijakan dan praktisi pendidikan Islam hendaknya mengembangkan segala potensi, dana, daya dan usaha untuk meningkatkan keterampilan, kecakapan, kepemimpinan dan kemampuan manajemen pendidikan pada setiap satuan dan jenjang pendidikan. Karena salah satu faktor utama keberhasilan sistem pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan Islam akan sangat ditentukan juga oleh kemampuan administratif, finansial dan manajerial dari para pengelola dan penyelenggara pendidikan Islam.
Kesembilan, para pelaksana pendidikan Islam hedaknya melakukan rekonstruksi dan modernisasi prasarana dan sarana pendidikan Islam di segala bidang sejalan dengan tuntutan modernitas. Fasilitas-fasilitas seperti ruangan diskusi dan seminar, student center (pusat kegiatan mahasiswa), laboratorium untuk kepentingan program praktikum, komputer dan perpustakaan hendaknya menjadi perioritas utama dalam mengembangkan fasilitas, prasarana dan sarana pendidikan Islam.
Perpustakaan, yang menjadi jantung dan tulang punggung suatu perguruan tinggi Islam, hendaknya diupayakan untuk ditata dan dikelola secara profesional dengan menggunakan sistem manajemen moderen. Pemakaian sistem komputerisasi yang moderen dan canggih yang selalu on line antar-unit kerja di lingkungan kampus dan pelayanan pinjaman buku antar-perpustakaan universitas hendaknya diupayakan sebagai kelengkapan fasilitas moderen yang amat memudahkan cara kerja yang praktis, produktif, efektif dan efisien.
Kesepuluh, para penyelenggara pendidikan Islam hendaknya mengembangkan areal kampus seluas mungkin karena kampus yang luas akan dapat menampung banyak orang dan banyak barang. Taman-taman hijau yang rindang dan kolam-kolam yang indah dan menyejukkan hendaknya diupayakan sebagai bagian kelengkapan kampus yang moderen. Kafe untuk keperluan makan dan minum yang bernuansa asri dan lestari bagi seluruh masyarakat kampus hendaknya diupayakan dengan pelayanan yang penuh keramahan. Berbagai fasilitas olah raga dan areal parkir mobil dan motor hendaknya juga diupayakan agar memberi kenyamanan dan kemudahan bagi masyarakat kampus. 
Kompleksitas tantangan kependidikan di tengah-tengah arus benturan pendidikan sekuler dan peradaban non-Islami masih terus membayang dan menghadang di hadapan umat Muslim Indonesia. Secara bertahap, terarah dan terprogram, kompleksitas tantangan kependidikan di tengah pergumulan modernitas ini harus terus direspons dan ditanggulangi secara serius oleh umat Muslim, terutama oleh para penggagas, perancang dan praktisi yang bergerak di dunia pendidikan Islam. Hanya dengan cara itu, mutu akademis, kemampuan intelektualitas, kualitas moralitas dan kemampuan profesionalitas umat Muslim pada masa-masa mendatang dapat ditingkatkan secara signifikan. Jika hal ini dapat dilakukan oleh para perancang dan para praktisi pendidikan Islam, Umat Islam dapat bersaing dan merebut posisi terhormat di tengah-tengah kerasnya persaingan era global dewasa ini.
Umat Islam harus berpacu maju ke masa depan dan berupaya mengukir karya kependidikan yang berkualitas tinggi dalam arti yang seluas-luasnya. Umat Islam tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus siap secara mental, edukasional, intelektual dan kultural menggeluti dan menggumuli kompleksitas tantangan modernitas di bidang pendidikan. Melalui perbaikan kualitas dan peningkatan mutu pendidikan, Umat Islam hendaknya terus berpacu membangun dan membina masyarakat madani, yaitu masyarakat yang berkeadaban, masyarakat yang bermoral kenabian, masyarakat cerdas dan trampil yang memadukan olah zikir dan olah pikir, masyarakat yang berkebudayaan dan berperadaban dengan tetap berpegang teguh kepada ajaran dan ruh Qur’ani.***


Daftar Pustaka


Abrasyi, Al. At-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha. Mesir: Isa al-Babi wa Surakah, 1969.
Ahmad, Khurshid. “Islam and the Problem of Educational Reconstruction.” Dalam Al­Jami’ah, no. 5 Th XII, 1974, hlm. 55-73.
Ali,  A.  Mukti. “Universitas dan Prinsip-prinsip Perubahan Masyarakat.” Dalam Al-Jami’ah no. 1 Th. XII, 1973, hlm. 1-7.
Ali, A. Mukti. “Beberapa Pertimbangan Tentang Peningkatan Mutu IAIN dan Kurikulum.” Dalam Al-Jami’ah, no. I, Januari 1971, hlm. 3-10.
Amijaya, D.A. Tisna. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1976-1985. Jakarta: Dirjen Dikti, 1976.
Amin, Mustafa. Tarikh at-Tarbiyah. Cet. ke-2. Kairo: Al-Ma’arif, 1926.
Anshari, Endang Saifuddin. Kuliah al-Islam: Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi. Bandung: Perpustakaan Masjid Salman ITB, 1970.
Arifin, Anwar. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang Sisdiknas. Jakarta: POKSI VI FPG-DPR RI, 2003.
Attas, S.N. Al. Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979.
Attas, S.N. Al. The Concept of Education in Islam: A Framework for Islamic Philosophy of Education. Jeddah: King Abdul Azis University, 1979.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 1999.
Bailyn, Bernard. Education in the Forming of American Society. New York: W.W. Norton &  Company, Inc.  1972.
Baseline Study of IAIN: The Guidelines of IAIN Development Plan for Twenty-Five Years. Jakarta: Censis-IAIN Jakarta-Ditbinperta, 1996.
Bilgrami, Hamid Hasan dan Sayid Ali Asyraf. Konsep Universitas Islam. Terj. Machnun Husein. Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1989.
”Daya Saing Pendidikan Naik.” Dalam Kompas, 18 September 2010, hlm. 12.
Bok, Derek. Higher Learning. Cambridge: Harvard University Press, 1986.
Data Potensi Pondok Pesantren Seluruh Indonesia Tahun 1977. Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, 1977.
Dhofier, Zamakhsyari. “The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kyais in the Maintenance of the Traditional Ideology in Java.”  Disertasi doktor, Monash Universitry, 1960.
Fajar, A. Malik et al. Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1999.
Fajar, A. Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1998.
Faruqi, Ismail dan Lois Lamya aI-Faruqi. The Cultural Atlas of Islam. New York: Macmillan Publishing Company, 1986.
Faruqi, Ismail Raji. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka, 1983.
Gibb, Hamilton A.R. Studies on the Civilization of Islam. Disunting oleh S.J. Shaw dan W.R. Polk. Boston: Beacon Press, 1962.
Gilet, M. “The IAIN in Indonesian Higher Education.” Dalam Muslim Education Quarterly, Vol. 8, 1990, hlm. 21-32.
Gutek, Gerald L. Philosophical and Ideological Perspectives on Education. Boston: Allyn and Bacon, 1989.
Hamidjojo, Santoso S. et al. Platform Reformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Tim Kerja Peduli Reformasi Pendidikan Nasional, 1998.
Hamm, Cornel M. Philosophical Issues in Education: An Introduction. New York: The Falmer Press, 1989.
Hidayat, Komaruddin dan Hendro Prasetyo, eds. Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Departemen Agama RI, 2000.
Hoesin, Oemar Amin. Kultur Islam. Cet. ke-2. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Holt, P. M. et al. The Cambridge History of Islam. 2 vols. Cambridge: Cambridge University Press, 1970.
Ibn Khaldun, Abdurrahman. Muqaddimah. Beirut: Darul Kutub al-’Ilmiyah, 1993.
Ikram, S.M. Muslim Civilization in India. Disunting oleh Ainshie T. Embree. New York: Columbia University Press, 1964.
Ismail, Faisal. Paradigma Kebudayaan Islam. Jakarta: Mitra Cendekia, 2004.
Jabali, Fuad dan Jamhari. IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta, Logos, 2002.
Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi, eds. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicipta, 2001.
Kelompok Kerja, Filosofi, Kebijaksanaan dan Strategi Pendidikan Nasioanl. Jakarta: Depdikbud  1999.
Khan, Mohammad Abdur Rahman. Muslim Contribution to Science and Culture. Lahore: Mohammad Ashrof, 1946.
Khayyat, Muhyiddin al. Durus at-Tarikh al-Islâmi. Jilid III. Beirut: tp.; t.t.
Khazin, William al. Al-Hadlarah al-Abbasiyah. Cet. ke-3. Beirut: Dar al­Masyriq, 1992.
Leibbrandt, Gottfried. “The Unisco World Conference on Higher Education in the 21st Centurey and its Follow-up.” Makalah dipresentasikan dalam seminar internasional tentang “Managing Higher Education in the Third Millennium,” Jakarta, 25-26 Oktober 1999.
Makdisi, George. The Rise of Colleges: Institution of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981.
Nadwi, Abu Hasan An. Nahwa at-Tarbiyah al-Islamiyah al-Hurrah. Kairo: Al-Mukhtar al-Islami, 1974.
Nakamura, Mitsuo dan Setsuo Nishino. “Islamic Higher Education in Indonesia.” Dalam Higher Education Policy,” Vol. 6, No. 2, hlm. 51-54.
Nasr, Sayyed Hossein. Science and Civilization in Islam. Edisi ke-2. Cambridge: The Islamic Text Society, 1987.
” Pendidikan: 8 PTN Indonesia Masuk Top Dunia.” Dalam Kompas, 20 September 2010, hlm. 12.
Perwiranegara, Alamsjah Ratu. Pembinaan Pendidikan Agama. Jakarta: Departemen Agama RI, 1982.
Pondok Pesantren Al-Amien. Sumenep: Pustaka Al-Amien, 1996.
Post Graduate Prospectus 1994-1995. Kuala Lumpur, Malaysia: International Islamic University, 1995.
Prasodjo, Sudjoko et al. Profil Pesantren: Laporan Hasil Peneli­tian Pesantren Al-Falak dan Delapan Pesantren Lain di Bogor. Jakarta: LP3ES, 1982.
Ranuwihardjo, Sukaji. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1986-1995. Jakarta: Dirjen Dikti, 1986.
Robinson, Francis. Atlas of the Islamic World since 1500. New York: Facts on File, Inc., 1989.
Schacht, Joseph dan C. E. Bosworth, eds. The Legacy of Islam. Edisi. ke-2. Oxford: The Clarendon Press, 1963.
Shaleh, Abdul Rahman. Pendidikan Agama dan Keagamaan: Visi, Misi dan Aksi. Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000.
Sharif, M. M. Alam Fikiran Islam: Peranan Umat Islam dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Cet. ke-2. Terj. Fuad Moh. Fachruddin. Bandung: Diponegoro, 1979.
Sirozi, Muhammad. Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-Tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1998. Leiden-Jakarta: INIS, 2004.
Soecipto, H.A. dan Agussalim Sitompul. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan IAIN. Yogyakarta: Lembaga Pengabdian pada Masyarakat IAIN Sunan Kalijaga, 1986.
Soehendro, Bambang. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1996-2005. Jakarta: Dikti, 1996.
Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES, 1986.
Sulaiman, Fathiah Hasan. Mazahib fit-Tarbiyah: Bahtsun fil Mazhab ‘inda al-Ghazaali. Kairo: Maktabah Nahdiyah Misty, 1964.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Terj. Mukhtar Yahya. Jakarta: Jayamurni, 1973.
Tilaar,  H.A.R. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. 
Tilaar, HAR. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia, 1998.
UNESCO. Higher Education in the Twenty First Century: Vision and Action. Paris: UNESCO, 1998.
Vatikiotis, Michael. “Faith in Teaching: Muslims Say New Education Law is too Secular.” Dalam Far Eastern Economic Review, vol. 30, no. 141 (July 28, 1988), hlm. 25.
Watt, William Montgomery. A History of Islamic Spain. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1977.
Watt, William Montgomery. The Influence of Islam on Medieval Europe. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1987.
Watt, William Montgomery. The Majesty That was Islam. New York: Praeger Publishers, 1974.
William, John Alden. Themes of Islamic Civilization. Berkeley: University of California Press, 1982.
Zaidan, Jurji. Tarikh at-Tamaddun al-Islami. Lima jilid. Kairo: Dar al­Hilal, 1957.
Powered by Blogger