Oleh
Prof Dr Faisal Ismail MA
Guru Besar Sejarah
Peradaban Islam
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
PENDIDIKAN ISLAM
DALAM PUSARAN SEJARAH
Menguatkan (Kembali)
Ruh Qur’ani
dalam Membina
Masyarakat Madani
Istilah penting dan sekaligus kata kunci yang akan sering dipakai dalam
orasi ini adalah pendidikan. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan pendidikan
itu? Pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan secara sadar,
terencana, terstruktur dan berkesinambungan dalam rangka menghasilkan anak-anak
didik menjadi SDM (sumber daya manusia) yang berkualitas secara intelektual dan
berkualitas secara moral. Dalam perspetkif Islam, pendidikan bertujuan untuk
mengantarkan para peserta didik agar mereka dapat mengembangkan seluruh potensi
mereka masing-masing sehingga mereka nantinya bisa menjadi manusia-manusia
beriman yang cakap, pandai, terampil dan mampu hidup secara mandiri dalam
memenuhi segala kebutuhan hidup mereka.
Seluruh proses kegiatan pendidikan merupakan suatu sistem yang utuh,
terencana dan terpadu. Sebagai suatu sistem yang utuh dan terpadu, pola
penyelenggaraan pendidikan sudah tentu mensyaratkan adanya berbagai macam
perangkat pendidikan seperti filsafat pendidikan, tersedianya para pendidik,
para anak didik, sarana dan prasarana pendidikan, kurikulum dan materi
pendidikan, metode pendidikan, evaluasi pendidikan dan tujuan pendidikan.
Dilihat dari perspektif sosio-kultural, seluruh aktivitas pendidikan dan
kegiatan pembelajaran merupakan suatu proses kreatif budaya dan sekaligus
sebagai proses internalisasi nilai-nilai budaya yang berlangsung secara
dialektik, sinergis, integral dan total dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Proses penanaman nilai-nilai budaya dan aktivitas pembudayaan yang kreatif
ini berlangsung sepanjang dinamika kehidupan manusia, dari generasi ke generasi
berikutnya.
Proses edukasional dan kultural
Sebagai suatu proses edukasional-kultural yang dinamis dan sekaligus
inovatif, aktivitas pendidikan merupakan rangkaian kegiatan pewarisan seluruh
khazanah ilmu pengetahuan dan harta kebudayaan dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Secara fitrah-kodratiah, generasi tua selalu memelihara dan
senantiasa berupaya untuk terus mewariskan seluruh harta kekayaan kebudayaan
mereka kepada generasi muda sebagai generasi penerus. Dengan demikian, khazanah
ilmu pengetahuan dan harta kebudayaan tersebut akan tetap terjaga dan
terpelihara dari masa ke masa dan tidak akan musnah dalam perjalanan kehidupan
manusia.
Proses pewarisan harta kebudayaan dari generasi tua ke generasi muda itu
berlangsung secara inovatif dan dinamis, terjadi secara berkesinambungan
sebagaimana ditunjukkan oleh makna dan pengertian kata ‘pewarisan’ itu sendiri.
Demikianlah, dalam proses alih generasi, generasi muda akan mewarisi sains dan
teknologi serta seluruh harta kebudayaan dari generasi tua. Selanjutnya,
generasi muda akan mengolah dan mengembangkan sains dan teknologi serta seluruh
harta kebudayaan tadi sesuai dengan perkembangan alam pikiran mereka. Dengan
demikian, proses-proses inovatif pendidikan dan konstruk pembelajaran dalam
bingkai kehidupan masyarakat berlangsung sejalan dengan dinamika dan denyut
respons kreatif masyarakat itu terhadap kompleksitas tantangan modernitas yang
mereka hadapi.
Sebagai institusi pegembangan budaya manusia, lembaga pendidikan berperan
sebagai saluran yang sangat kreatif dan sekaligus sebagai piranti yang sangat
efektif dalam menanamkan, menumbuhkan, mengembangkan dan mewariskan nilai-nilai
insani dari generasi tua ke generasi muda. Nilai-nilai tadi, pada gilirannya,
tersosialisasi secara luas dan mengakar secara kuat, kemudian terlembagakan dan
menjadi pola-pola acuan kesadaran hidup bersama dalam tatanan kolektif
kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tadi terus hidup, tumbuh dan berkembang
menjadi seperangkat sistem atau tatanan sosial dan sandaran kolektif normatif
yang secara sadar dipegangi secara bersama dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Dalam konteks demikian, seluruh anggota masyarakat sangat menghargai dan
menghormati sistem nilai dan tatanan norma etis-kolektif yang mereka pegangi
dan mereka warisi dari generasi-generasi sebelumnya. Sistem-sistem nilai ini
ada yang secara dominan bersumber dari ajaran agama, ideologi, paham atau
filsafat sosial yang hidup dalam lingkungan suatu masyarakat/bangsa di mana
mereka hidup. Perbedaan-perbedaan sumber ajaran dan filsafat yang mendasari
tatanan nilai ini sudah barang tentu secara keseluruhan akan membawa
konsekuensi logis terjadinya perbedaan-perbedaan visi, misi, wawasan,
orientasi, tujuan dan sistem pendidikan yang ada pada setiap kelompok
masyarakat atau bangsa.
Sistem-sistem Pendidikan non-Islam
Dilihat dari segi sumber nilai dan filsafat yang mendasarinya,
sistem-sistem pendidikan di dunia ini secara garis besar dapat diklasifikasi
menjadi tiga: sistem pendidikan yang berdasarkan pada agama, sistem pendidikan
yang bercorak sekuler (Barat) dan sistem pendidikan Komunis. Sistem pendidikan
yang berdasarkan pada agama sudah barang tentu berakar kuat pada doktrin agama
tertentu, misalnya sistem pendidikan Islam.
Setiap komunitas agama (seperti Yahudi, Muslim, Katolik, Protestan, Hindu
dan Budha), secara teologis-filosofis, tentunya secara khusus memiliki sistem
pendidikannya sendiri-sendiri. Dalam sistem pendidikan agama-agama tadi
tergambar secara jelas filsafat, visi, misi, wawasan, orientasi dan tujuan
masing-masing. Sistem-sistem pendidikan tersebut dimaksudkan oleh komunitas
agama masing-masing untuk mencapai tujuan utama mereka, yaitu hendak
meningkatkan kesadaran spiritual dan kamajuan intelektual mereka masing-masing.
Sistem pendidikan sekuler adalah sistem yang berakar dan bersandar pada
sekularisme yang memisahkan pendidikan dari elemen ajaran-ajaran Ketuhanan dan
nilai-nilai agama. Dalam sistem pendidikan yang bercorak sekuler, agama sama
sekali tidak diberikan ruang gerak untuk ikut campur dalam seluruh proses
pendidikan, tetapi agama tidak dibenci atau dimusuhi. Di Amerika Serikat (AS),
umpamanya, murid-murid tidak diperbolehkan berdo’a di ruang kelas ketika
pelajaran akan dimulai. Berdo’a saja tidak boleh, apa lagi melakukan hal-hal
yang jauh lebih substansial dan fundamental daripada itu. Di Barat, posisi,
fungsi dan peranan agama terbatas dan dibatasi menjadi urusan pribadi atau
wilayah perorangan. Agama tidak dibenarkan mengambil bagian dalam kancah
kegiatan-kegiatan di ranah publik seperti pendidikan, politik dan kenegaraan.
Fenomena dikotomis-separatis di atas sebenarnya merupakan akibat wajar dan
konsekuensi logis dari sistem politik di dunia Barat yang secara resmi dan
secara ketat memisahkan antara gereja (agama) dan negara. Dalam pandangan
masyarakat Barat, negara adalah wilayah keduniawian yang pengurusannya
diserahkan kepada kaisar, raja atau kepala negara. Sedang bidang agama adalah
ranah spiritual-kerohanian yang pengurusannya diserahkan kepada Paus dan
pemimpin agama. Agama dalam kehidupan masyarakat Barat tidak dibenarkan untuk
menyentuh, apalagi mengintervensi, urusan-urusan negara. Agama di Barat
dipisahkan dari ruang publik. Agama dijadikan sebagai urusan pribadi atau
perseorangan, dan hanya boleh bergerak sebatas wilayah itu. Simbol-simbol
ketuhanan dan keagamaan tidak boleh memasuki wilayah kenegaraan.
Di universitas-universitas Barat, biasanya di jurusan Middle East Studies,
Near Eastern Studies, atau Religious Studies, mata kuliah agama (seperti
Christianity, Judaisme, Islam, Buddhisme, dan Hinduisme) memang dimasukkan ke
dalam kurikulum perkuliahan. Untuk memahami sejarah agama-agama itu, para
mahasiswa biasanya mengambil mata kuliah itu sehingga pengetahuan mereka
tentang sejarah agama-agama itu bisa mendalam. Akan tetapi, penawaran dan
pencantuman mata pelajaran agama ke dalam kurikulum tadi hanya dimaksudkan
sebagai bahan kajian ilmiah yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan
upaya-upaya pendidikan yang bertujuan untuk membina nilai-nilai spiritual
keagamaan dan memperkuat dimensi sendi-sendi keimanan kepada Tuhan.
Pendidikan sekuler, tidak dapat diragukan lagi, memang lebih banyak
menekankan pada aspek pengembangan kapasitas akal pikiran dan nalar semata,
akan tetapi kurang/tidak memberikan porsi yang wajar pada segi pendidikan
spiritual, moral dan akhlak. Masalah iman, spiritual, akhlak dan moral
diserahkan kepada pribadi pelajar/mahasiswa masing-masing sebagai persoalan dan
urusan perorangan. Karena itu, pendidikan di Barat sebenarnya bukan pendidikan
dalam arti yang sebenarnya, akan tetapi lebih bersifat pengajaran semata.
Yaitu, suatu proses kegiatan belajar-mengajar yang hanya menekankan pada
keberlangsungan transfer ilmu pengetahuan dari para guru/dosen kepada para pelajar/mahasiswa.
Selanjutnya, sistem pendidikan Komunis, secara keseluruhan, adalah sistem
pendidikan yang didasarkan pada filsafat historis materialisme dan bersumber
dari ideologi ateisme-Marxisme-Komunisme seperti yang ada di Uni Soviet
(sebelum bubar) dan China. Dalam sistem pendidikan Komunis, agama bukan saja
tidak diberi ruang gerak dalam bidang pendidikan, akan tetapi secara
terang-terangan agama ditentang, dikekang, dibenci, dimusuhi dan bahkan hendak
diberantas sampai ke akar-akarnya dalam seluruh aspek tatanan kehidupan
masyarakat Komunis. Secara jelas hal ini (pernah) terjadi di negara-negara
Komunis, seperti di Uni Soviet dan China, yang memang secara sengaja melakukan
berbagai kampanye dan propaganda anti-Tuhan dan anti-agama secara sistematis
dan besar-besaran di negeri mereka.
Dulu di Uni Soviet, para penguasa pernah menempuh berbagai kebijakan
sistematis yang sangat represif dalam memusuhi dan memberantas hal-hal yang
berbau agama, karena agama – bagi mereka – adalah tak lebih sebagai candu bagi
masyarakat. Kaum Komunis, yang berpegang kepada paham historis materialisme,
berpendapat bahwa segala sesuatu itu dikatakan ada (eksis) apabila dapat
dibuktikan dengan akal atau rasio dan dibuktikan pula dengan hasil-hasil
pengamatan panca indra atau bukti-bukti ilmiah-empiris.
Karena Zat dan Eksistensi Tuhan tidak dapat diobservasi dan dilihat dengan
mata dan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah-empiris, maka Tuhan itu – bagi
kaum ateis-Komunis – tidak ada. Tuhan, bagi kaum ateis-Komunis, adalah omong
kosong, irrasional dan nonsense. Pandangan ini sudah barang tentu menjadi akar
dan dasar kuat dalam bangunan sistem pendidikan Komunis yang sangat bertolak
belakang dengan pola pandangan agama dan dasar Ketuhanan dalam sistem
pendidikan yang berbasis agama (Islam).
Filsafat dan Sistem Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sudah pasti tidak sama dengan pendidikan non-Islam. Hal
ini disebabkan oleh ajaran Islam yang mendasari dan menjiwai konsep, filsafat
dan sistem pendidikan Islam yang secara kontras berbeda dari konsep, filsafat
dan sistem pendidikan non-Islam. Secara garis besar, konsep, filsafat dan
sistem pendidikan Islam dapat diuraikan dan diterangkan sebagai berikut.
Uraian-uraian berikut ini sekaligus hendak menjelaskan secara gamblang tentang
perbedaan mendasar antara sistem pendidikan Islam dengan sistem pendidikan-pendidikan
non-Islam.
Pertama, pendidikan Islam merupakan perintah Allah sebagai
kewajiban agama. Sebagai kewajiban atau perintah agama, seluruh proses
belajar-mengajar, proses pembelajaran dan proses pencarian ilmu pengetahuan
menjadi fokus utama yang sangat bermakna dan bernilai dalam pendidikan Umat
Muslim. Kewajiban ini mengacu kepada wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang isinya memuat suruhan dan dorongan untuk
“membaca” dan “mengajar” (Q.S. Al-‘Alaq: 1-5). Kata “membaca” (iqra’) di sini,
secara filosofis dan praktis-empiris, dapat dimaknai seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya dalam konteks kehidupan Umat Islam.
Dalam konteks ini, Islam menghendaki agar manusia dapat menulis dan membaca
(melek huruf, tidak buta huruf) agar menjadi manusia yang berpengetahuan,
pandai dan cerdas. Pada gilirannya, dengan segala kepandaian dan kecerdasan
yang ada pada dirinya, manusia akan mampu untuk melakukan observasi,
eksplorasi, eksperimentasi, kajian, studi, telaah, analisis, penelitian dan
riset dalam dunia ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman secara menyeluruh dan
komprehensif.
Perintah “membaca” dari Allah di atas hendaknya diartikan sebagai perintah
untuk menganalisis secara kritis terhadap ayat-ayat kauniyah (ayat-ayat
tidak tertulis/alam semesta) dan ayat-ayat qauliyah (ayat-ayat
tertulis/Alqur’an), kemudian menafsirkan serta menyelaraskan antara keduanya
berdasarkan hubungan fungsional pemaknaan teks dan konteks. Perangkat-perangkat
teori, konsepsi, pendekatan dan metodologi ilmiah sangat diperlukan dalam
melakukan penelitian dan analisis hubungan teks dan konteks itu agar pemikiran
atau penelitian yang kita lakukan dapat memperoleh hasil yang bermanfaat bagi
manusia dan kemanusiaan.
Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan bahwa menuntut ilmu
(tentu saja di dalamnya terkait dengan kegiatan pembelajaran, proses
belajar-mengajar dan proses pendidikan) adalah wajib bagi setiap Muslim dan
Muslimah. Dengan demikian, Islam mewajibkan umatnya untuk selalu giat dan tekun
menuntut ilmu yang, secara sinergis, intensitas kegiatannya memfokus pada
aktivitas pembelajaran dan pendidikan secara total dan integral.
Kedua, pendidikan Islam berasaskan pada ajaran tauhid. Ia tidak memisahkan nilai-nilai moral/nilai-nilai Ketuhanan dari
nilai-nilai hidup keduniawian. Bahkan nilai-nilai iman, moral dan Ketuhanan
menjadi asas yang mengakar kuat dalam segala aspek pelaksanaan dan pencapaian
tujuan pendidikan Islam. Nilai-nilai tauhid ini
merupakan dasar dan tujuan utama yang harus tercermin dalam konsep, filsafat
dan sistem pendidikan Islam. Dan dasar pandangan hidup tauhid inilah yang
secara teologis-filosofis membedakan secara kontras antara pendidikan Islam
dengan sistem-sistem pendidikan lain.
Muatan prinsip-prinsip keimanan dan nilai-nilai asasi Ketuhanan
(sebagaimana tertera dalam Alqur’an Surat Al-Ikhlas ayat 1-5) secara jelas dan
tegas sudah barang tentu menjadi basis kekuatan moral transendental yang harus
mengakar secara kuat dan mendasar dalam seluruh pilar-pilar intelektual bangunan
sistem pendidikan Islam.
Ketiga, pendidikan Islam merupakan ibadah kepada Allah. “Jagalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka,” demikianlah Allah bertitah dalam
Alqur’an (Surat At-Tahrim: 6). Ini berarti bahwa seluruh kegiatan pendidikan
itu merupakan kewajiban individual dan kolektif yang pelaksanaannya dilakukan
melalui jenjang pendidikan formal dan jalur pendidikan non-formal sesuai dengan
tingkat kemampuan anggota masyarakat Islam masing-masing.
Karena bernilai ibadah, tujuan pendidikan Islam harus bermuara pada
pencapaian penanaman nilai-nilai Ilahiyah dan nilai-nilai insaniah dalam
seluruh proses pembangunan dan pengembangan watak, karakter, moral, perilaku
dan kepribadian para peserta didik. Dengan demikian, bagi manusia Muslim, hidup
dan kehidupan di dunia ini memiliki tujuan utama yang sarat dengan nilai
Ketuhanan, makna keagamaan dan muatan keilmuan.
Keempat, pendidikan Islam memberikan posisi dan derajat yang
sangat tinggi kepada orang-orang terdidik, terpelajar, sarjana dan ilmuan. Hal
ini dapat dipahami dari firman Allah yang mengatakan bahwa Allah akan
mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman dan berilmu lebih tinggi beberapa
derajat daripada orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan (QS Almujadalah:
11).
Dalam ayat lain, Allah menyuruh agar orang-orang yang tidak mengetahui
tentang suatu hendaknya bertanya kepada orang-orang yang berilmu (para ilmuan
atau pakar) agar mereka mengetahui (QS Annahl: 43). Ini berarti bahwa kegiatan
pendidikan memegang peranan penting dan menjadi kunci yang strategis dalam
menghasilkan orang-orang yang tercerahkan alam pikiran mereka, orang-orang yang
terdidik, terpelajar, intelektual, ilmuan, pakar dan sarjana.
Kelima,
pendidikan Islam berlangsung sepanjang hayat (life long education). Ini dapat dipahami dari hadits Nabi yang mengajarkan kepada umat Muslim
untuk menuntut ilmu dari sejak buaian ibu sampai ke liang kubur. Pendidikan
sepanjang hayat ini bisa dilakukan melalui jalur formal maupun jalur
non-formal. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa – menurut konsep Islam –
pendidikan tidak mengenal batas umur dan terus berlangsung sepanjang hayat.
Selain itu, sarana dan prasarana belajar tidak hanya terbatas pada ruang kelas,
akan tetapi bisa berlangsung di luar ruang kelas atau dalam kehidupan
masyarakat luas.
Keenam, pendidikan dalam konstruk ajaran Islam bersifat
dialogis, inovatif dan terbuka. Artinya, Islam dapat menerima khazanah ilmu
pengetahuan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan dari mana saja,
baik dari Timur maupun dari Barat. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad pada masa
hayat beliau tidak merasa alergi memerintahkan umatnya untuk menuntut ilmu
pengetahuan walaupun ke negeri Cina.
Itu berarti bahwa dalam rangka meraih kemajuan-kemajuan di bidang sains dan
teknologi, umat Muslim bisa belajar baik dari kemajuan Timur maupun dari
kemajuan Barat sepanjang hal itu benar-benar positif dan bermanfaat untuk
meningkatan bobot kreativitas, pencerahan intelektualitas dan keterampilan teknologis
umat Muslim. Awal kebangkitan dan kemajuan peradaban umat Muslim Arab pada abad
ke-8 M juga dipicu oleh intensitas dan ekstensitas upaya-upaya pembelajaran
mereka secara kreatif-dialogis terhadap warisan budaya non-Muslim, yaitu ilmu
dan teknologi Yunani klasik. Semua ini membuktikan bahwa seluruh proses
pembelajaran dan totalitas aktivitas pendidikan dalam Islam bersifat dialogis,
kreatif, inovatif dan terbuka.
Ketujuh, pendidikan Islam menyatupadukan dan menyelaraskan antara
kepentingan dunia dan kepentingan akhirat (Q.S. Alqashash: 77) dalam mencapai tujuan
pendidikan. Ini secara jelas memperlihatkan perlunya dicapai prinsip
keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat agar kaum Muslimin bisa
tampil sebagai hamba Allah dan sekaligus sebagai khalifah Allah di bumi ini
yang mampu mengelola alam semesta ini secara inovatif dan produktif untuk
mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.
Itu berarti bahwa alam semesta ini, menurut ajaran Islam, harus dipelajari,
dieksplorasi dan dimanfaatkan secara maksimal demi kemakmuran manusia di dunia
dalam rangka berbakti dan mengabdi kepada Sang Khalik, Pencipta alam semesta.
Prinsip keseimbangan antara nilai-nilai duniawi dan nilai-nilai ukhrawi
mendapatkan tekanan sentralistik dan integralistik yang setara dalam visi dan
misi pendidikan Islam.
Kedelapan, pendidikan Islam menyeimbangkan
antara pendidikan akal (intelektual) dan pendidikan moral-spiritual. Ini sesuai
dengan fitrah-insaniyah asal kejadian manusia yang secara substansial terdiri
dari unsur rohani dan unsur jasmani. Pendidikan intelektual bertujuan untuk
mencerahkan dan mencerdaskan alam pikiran manusia, sedangkan pendidikan
spiritual dan moral bertujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak dan
berwatak baik.
Dalam pandangan Islam, pendidikan yang hanya menekankan pada sisi
pengembangan dan peningkatan kecerdasan akal saja tidak cukup, akan tetapi
harus disertai dengan pembinaan dan pemantapan perilaku-perilaku akhlak yang
luhur dan pembentukan kepribadian yang baik. Nilai-nilai intelektual dan
nilai-nilai moral-spiritual mendapat tekanan dan tempat yang wajar dan serasi
dalam rancang-bangun sistem pendidikan Islam. Islam sangat menekankan pola
keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, antara
kecerdasan akal dan kecerdasan spiritual.
Kesembilan, pendidikan Islam – sesuai visi
dan misinya – mempunyai tujuan harmonis untuk menyeimbangkan antara kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat sehingga tidak terjadi ketimpangan dan
kepincangan sosial dalam kehidupan masyarakat Muslim. Dengan menyeimbangkan
pola-pola hubungan sosial itu, maka tatanan sosial dan harmoni keumatan yang
ada dalam kehidupan masyarakat Muslim dapat terbina, terpelihara dan terjaga
dengan baik.
Dengan demikian, seluruh masyarakat Muslim dengan masing-masing anggotanya
akan menjalani arena kehidupan ini dalam gerak irama harmoni yang baik dan
serasi. Setiap ketimpangan, kepincangan dan sekat pemisah sosial diupayakan
untuk ditanggulangi dengan cara pengamalan ajaran-ajaran sosial Islami. Ajaran
zakat, misalnya, dapat ditunjuk sebagi salah satu bukti dalam konteks ini.
Orang-orang Islam yang memiliki kemampuan (kelebihan harta) diwajibkan berzakat
kepada kaum dhuafa sebagai cara berbagi kebahagiaan dan sebagai cara
pengejewantahan simpati dan solidaritas sosial yang mendalam. Prinsip
keselarasan dan asas keseimbangan nilai-nilai individu dan masyarakat selalu
mendapatkan tekanan penting dalam keseluruhan bangunan sistem pendidikan Islam.
Kesepuluh, pendidikan Islam bertujuan untuk
memperkuat komitmen ‘hablun minallah’ (hubungan manusia dengan
Allah) dan ‘hablun minannas’ (hubungan antara manusia dengan sesama
manusia). Pendidikan Islam, pada tataran dimensi vertikal, bertujuan untuk
memperkuat bangunan keimanan dan pilar-pilar ketakwaan manusia kepada Allah.
Pada tataran dimensi horisontal, pendidikan Islam bertujuan untuk memperkukuh
komitmen kemanusiaan dan mempertajam kepekaan solidaritas sosial dengan sesama
manusia. Kedua paradigma dan dimensi ini mempertegas adanya korelasi signifikan
bahwa nilai-nilai kesalehan Ilahiyah dan kesalehan ijtima’iyah (sosial
kemasyarakatan) mendapat tekanan sepadan dalam konsep, filsafat dan sistem
pendidikan Islam.
Kesebelas, pendidikan Islam – sesuai arah,
visi dan misinya yang komprehensif, sinergis dan terpadu – sangat menghargai
pencapaian prinsip keseimbangan pendidikan rohani dan pendidikan jasmani. Hal
ini didasarkan pada kenyataan bahwa manusia pada hakikatnya terdiri dari dua
substansi, yaitu unsur rohani dan jasmani. Keduanya memerlukan latihan dan
pembinaan secara tepat dan wajar agar tercipta landasan rohani yang sehat dan
bangunan jasmani yang kuat dalam membangun integritas kepribadian dan
menumbuhkan karakter yang baik dalam diri para anak didik.
Ditinjau dari sudut input (masukan) dan output (keluaran), pendidikan
Islam sama sekali tidak bertujuan untuk menghasilkan sosok manusia yang kondisi
rohaninya sehat, tetapi kondisi fisiknya lemah atau tidak kuat. Sebaliknya,
pendidikan Islam sama sekali tidak menghendaki sosok anak didik yang keadaan
fisiknya sehat dan kuat, tetapi keadaan rohaninya keropos dan tidak sehat.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa nilai-nilai rohaniah dan nilai-nilai
jasmaniah mendapat perhatian yang baik, serasi, sinergis dan seimbang dalam
konsep, filsafat dan sistem pendidikan Islam.
Keduabelas, Islam mengajarkan prinsip ’education
for all’ (pendidikan untuk semua). Semua calon peserta didik tanpa
memandang jenis kelamin, jender, latar belakang etnis, budaya dan strata sosial
memiliki akses dan kebebasan yang sama untuk memperoleh dan mengenyam
pendidikan secara layak dan baik. Islam adalah agama persamaan, agama yang
memandang semua manusia adalah sama (equal) di hadapan Allah. Prinsip
persamaan ini pulalah yang menjiwai pendidikan Islam itu dalam arti semua orang
atau semua calon peserta didik mempunyai persamaan, peluang, akses, dan
kebebasan yang sama untuk mendapatkan pelayanan pendidikan secara layak dan
baik.
Prinsip-prinsip sistem pendidikan Islam yang dikemukakan di atas merupakan
suatu pemahaman awal untuk melihat dan menggali nilai-nilai dasar integralistik
pendidikan Islam. Upaya-upaya para pakar dan praktisi pendidikan Islam untuk
terus melakukan rekonstruksi pemikiran dan pelaksanaan pendidikan Islam secara
dialektis-inovatif sangat diperlukan mengingat semakin perlunya disusun suatu
sistem baru pendidikan Islam dalam rangka menggeluti dan menggumuli abad ke-21
atau milenium ketiga.
Lebih-lebih Umat Muslim kini berada dalam babakan perjalanan sejarah
moderen yang ditandai dengan semakin gencarnya kompleksitas tantangan modernitas
yang dewasa ini menghadang Umat Muslim di setiap lini kehidupan. Respons umat
Muslim yang tepat, dinamis, kreatif, inovatif dan progresif terhadap berbagai
kompleksitas tantangan modernitas tadi akan sangat menentukan corak, mutu dan
kualitas pendidikan Islam dan hasil-hasilnya di masa depan.
Faktor Penggerak Kemajuan
Antara abad ke-8 sampai abad ke-13 Masehi, umat Muslim-Arab (Daulah
Abbasiyah di Baghdad dan Dulah Umayyah di Cordova-Spanyol) telah mencapai
puncak prestasi di bidang pendidikan dan peradaban dunia yang tidak tertandingi
oleh bangsa-bangsa lain di seluruh dunia pada waktu itu, termasuk oleh Barat
sekali pun. Lompatan pencapaian spektakuler para sarjana Muslim dan para pakar
Arab di bidang pendidikan dan peradaban pada masa itu terjadi setelah mereka mengolah
dan mengembangkan hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi Yunani klasik.
Pada abad-abad tersebut umat Muslim Arab benar-benar menikmati masa kejayaan dan
masa keemasan peradaban yang tiada taranya, termasuk di bidang pendidikan dari
tingkat pendidikan dasar ke tingkat pendidikan tinggi di seantero negeri.
Pusat-pusat penting pendidikan dan lembaga-lembaga ilmu pengetahunan Islam
pada masa itu antara lain adalah Madrasah Nizamiyah di Baghdad, Darul Hikmah,
Universitas Cordova (di Andalusia/Spanyol-Islam), dan pada masa kemudian
Universitas Al-Azhar (di Kairo, Mesir). Nama-nama besar filosof dan ilmuan
Muslim seperti Ibnu Sina, Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu
Tufail, Ibnu Bajjah, Al-Khwarizmi, dan Jabir Ibnu Hayyan menghiasi
lembaran-lembaran ilmiah dalam sejarah kegemilangan peradaban Muslim pada masa
itu.
Philip K. Hitti dalam bukunya yang menarik berjudul The Arabs: A Short
History mengatakan bahwa pada saat umat Muslim Arab telah mencapai puncak
peradaban dunia, pada saat itu orang-orang Barat, terutama kalangan pendeta
mereka, baru belajar menulis dan mengeja huruf. Montgomery Watt, salah seorang
orientalis Barat termasyhur, dalam bukunya yang terkenal berjudul The
Influence of Islam on Medieval Europe, secara jujur mengakui kebesaran dan
kejayaan umat Muslim Arab serta sumbangannya terhadap Barat pada Abad
Pertengahan. Dalam bukunya yang lain, Islamic Spain, Montgomery Watt
juga merekam dan memaparkan secara jujur dan obyektif tentang prestasi-prestasi
ilmiah para sarjana Muslim dalam segala segi dan cabangnya yang telah mereka
capai pada masa keemasan peradaban Islam
itu.
Puncak-puncak prestasi ilmiah yang terjadi pada Zaman Keemasan Peradaban
Islam (The Golden Age of Islamic Civilization) ini sampai kini terekam
dalam catatan lembaran sejarah. Madrasah Nizamiyah, Universitas Cordova dan
Universitas Al-Azhar menjadi bagian penting yang menandai puncak-puncak
prestasi ilmiah yang dicapai oleh para sarjana Muslim pada masa itu. Pada waktu
itu tidak ada dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler. Semuanya
dinamakan ilmu-ilmu Islam. Pembagian dan pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu sekuler baru datang kemudian dan merupakan konsep sekuler Barat.
Pertanyaan logis dan kritis yang muncul kemudian adalah: mengapa pada masa
itu pendidikan dan peradaban Muslim mampu menghasilkan banyak filosof, ilmuan,
sarjana dan pakar di bidang keahlian mereka
masing-masing? Tentu saja ada banyak faktor yang dapat dikemukakan di
sini. Secara umum, faktor-faktor dominan yang menjadi pendorong gerak laju
kemajuan pendidikan dan peradaban Muslim Arab pada masa itu antara lain dapat
disebut sebagai berikut.
Pertama, pijar-pijar ruh jihad dan ijtihad yang bersumber dari
mutiara-mutiara ajaran Islam (Alqur’an dan hadits) benar-benar menjiwai
semangat dan motivasi para sarjana Muslim pada waktu itu. Mental ilmiah dan
budaya akademis yang mereka miliki menjadi faktor pendorong utama dan pemacu
penting bagi mereka dalam mengembangkan filsafat, sains, dan teknologi sehingga
mencapai taraf yang sangat tinggi dan tak tertandingi oleh bangsa-bangsa lain
pada masanya.
Kedua, para ilmuan Muslim pada waktu itu benar-benar bersikap
kreatif-inovatif dan membuka dialog kultural secara intensif dan melakukan
dialog ilmiah selebar-lebarnya dengan seluruh warisan sains dan teknologi
Yunani klasik. Para ilmuan Muslim secara intensif dan ekstensif menimba,
menyerap dan mengembangkan seluruh khazanah kekayaan ilmu pengetahuan dan
teknologi Yunani klasik itu. Dan, pada gilirannya, para ilmuan Muslim tadi
secara kreatif-inovatif-progresif berhasil menciptakan dan mengembangkan
sendiri sains dan teknologi yang bercorak khas Islam.
Ketiga, pembangunan dan pengembangan sektor pendidikan yang
menghasilkan keluaran-keluaran (outputs) yang sangat bagus, baik dalam
arti kualitas maupun kuantitas. Pusat-pusat pendidikan, pembelajaran,
penerjemahan, kegiatan ilmiah dan penelitian berkembang secara luas di Baghdad,
Cordova, dan kota-kota penting lainnya di kekhalifahan Bani Abbasiyah (dunia
Islam di Timur) dan di kekhalifahan Bani Umayyah (dunia Islam di Barat).
Madrasah Nizamiyah, Baitul Hikmah, Universitas Cordova dan Universitas Al-Azhar
dapat ditunjuk sebagai contoh pusat-pusat kegiatan ilmiah, intelektual dan
akademis yang sangat menarik dan mengesankan.
Keempat, dukungan material-finansial yang sangat besar dari para
khalifah terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memacu pengembangan
sains dan teknologi dan juga terhadap para ilmuan dan sarjana pada waktu itu.
Para khalifah sendiri sangat mencintai ilmu. Misalnya, Khalifah Al-Makmun di
Baghdad sangat mencintai ilmu dan mempunyai perpustakaan yang mendapat
perhatian langsung dari sang khalifah. Begitu pula khalifah Abdurrahman III di
Cordova sangat menaruh perhatian terhadap pengembangan ilmu. Kedua khalifah ini
tak segan-segan memberikan dukungan finansial yang amat besar kepada para
ilmuan untuk menulis karya-karya ilmiah dan untuk kepentingan-kepentingan
ilmiah lainnya.
Kelima, faktor sosial budaya, ekonomi dan politik yang sangat
mendukung dan kondusif, baik di kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad maupun
di kekhalifahan Bani Umayyah di Cordova, terutama ketika kedua pusat
pemerintahan Islam itu berada pada puncak-puncak kemajuan, kemakmuran dan
kesejahteraan. Perdagangan, bisnis, industri, pertanian, moneter/keuangan,
politik, keamanan dan militer di kedua pusat pemeritahan Islam itu, pada masa
kejayaan dan kebesarannya, sangat stabil dan mantap. Dan semua faktor ini
sangat menunjang kemajuan sains dan teknologi yang terus dikembangkan secara
kreatif-inovatif-produktif oleh para sarjana dan pakar Muslim pada waktu itu.
Para dosen, guru besar, pelajar/mahasiswa dan penyelenggara pendididikan
pada khususnya dan anggota masyarakat pada umumnya pada masa-masa puncak
keemasan peradaban Baghdad dan masa-masa kejayaan peradaban Cordova sama-sama
merasakan berbagai kemakmuran, kesejahteraan dan keamanan sehingga mereka semua
benar-benar dapat berkonsentrasi pada bidang pembelajaran dan dunia pendidikan.
Semua faktor ini telah mengangkat dan menjadikan Baghdad dan Cordova sebagai
dua pusat peradaban dunia yang sangat bergengsi, moderen dan canggih pada
masanya.
Dengan mengemukakan fakta-fakta historis di atas, saya ingin mengatakan
bahwa karya besar Umat Islam di bidang pendidikan, peradaban dan ilmu pengetahuan
pada waktu itu tak lain merupakan hasil spektakuler dari pelaksanaan sistem
pendidikan Islam yang benar, baik dan berkualitas tinggi. Nilai-nilai
integralistik pendidikan yang Islami-Qur’ani, pada tataran doktrin dan praktik,
benar-benar diterapkan dan dilaksanakan oleh umat Muslim pada masa itu sehingga
sistem pendidikan Islam tertata dan berfungsi secara integral, utuh, padu dan
sinergis. Terdapat sinergisitas antara input dan output-nya
sehingga menghasilkan para sarjana, pakar dan ilmuan yang berkualitas tinggi.
Faktor Penyebab Kemerosotan
Telah dipaparkan di atas bahwa, secara teologis-filosofis, Islam memiliki
keunggulan-keunggulan dalam hal konsep pendidikan bila dibandingkan dengan
konsep pendidikan lain (seperti sistem pendidikan sekuler dan sistem pendidikan
Komunis). Akan tetapi, pada tataran praktik, umat Muslim Indonesia (dan Umat
Islam di seluruh dunia) dewasa ini pada umumnya tidak/kurang mampu
menerjemahkan dan menerapkan nilai-nilai integralistik pendidikan Islam tadi ke
dalam dataran realitas kehidupan. Secara umum, kondisi pendidikan Islam, baik
secara kualitas maupun kuantitas, di mana saja di seluruh Dunia Muslim
tidak/kurang menggembirakan. Terjadi jurang pemisah yang besar antara cita
pendidikan yang diidealkan dalam Alqur’an dan realita yang terjadi dalam
kehidupan keumatan. Dengan kata lain, dalam penyelenggaraan pendidikan yang
dilakukan oleh Umat Muslim itu, ada kesenjangan atau jurang yang sangat lebar
antara idealitas doktrin agama dan realitas pengamalan, antara cita dan fakta. Mengapa hal ini terjadi?
Jawaban atas pertanyaan di atas tentunya harus dikaitkan dengan
variabel-variabel sosial budaya, sejarah, ekonomi dan politik yang terjadi di
lingkaran internal Umat Muslim di satu pihak dan faktor-faktor eksternal lainnya
yang mempengaruhi perjalanan kehidupan Umat Muslim di pihak lain. Semua
variabel dan faktor ini saling mengait dan membentuk suatu situasi dan kondisi
obyektif yang mempengaruhi perjalanan sejarah yang mengitari sisi-sisi suram
masa lampau umat Muslim. Variabel-variabel sosial budaya, ekonomi, politik dan
sejarah yang ikut menentukan sosok kehidupan umat Muslim dewasa ini terasa
sangat kompleks. Jurang pemisah yang besar antara cita dan realita pendidikan
Islam disebabkan antara lain oleh faktor-faktor berikut.
Pertama, pada masa-masa akhir pemerintahan Bani Abbasiyah di
Baghdad dan pemerintahan Bani Umayyah di Cordova (Andalusia/Spanyol), terjadi
proses pengeroposan kekuasaan politik dalam bentuk perebutan tahta
kekhalifahan. Perebutan tahta kekuasaan ini berujung pada pembunuhan politik
oleh seorang putra mahkota terhadap putra mahkota yang lain. Masa pemerintahan
seorang khalifah berlangsung singkat karena ia digulingkan atau dibunuh oleh
putra mahkota lainnya. Di samping pengeroposan kekuasaan, terjadi pula
pembusukan moral dalam bentuk meluasnya cara hidup hedonistis-sekularistis-materialistis
dalam kehidupan para khalifah dan dan para penguasa di lapisan elite
pemerintahan.
Cara hidup hedonistis-materialistis, hidup mewah dan kecenderungan sekuler sudah
meluas di kalangan para elite penguasa. Itulah sebabnya, dapat dipahami jika
dalam waktu yang bersamaan di berbagai tempat muncul pula gerakan-gerakan
sufistik/tasawuf dan aliran-aliran tarekat sebagai bentuk protes terhadap pola
kehidupan para penguasa yang dirasuki oleh gaya hidup
hedonistik-materialistik-sekularistik itu. Gerakan-gerakan sufistik ini
mengambil jarak dengan cara hidup para penguasa negara yang
sekularistik-materialistik itu, dan para sufi itu tidak ingin terhanyut ke
dalam pusaran arus kehidupan duniawi yang demikian. Para sufi itu pada ahkirnya
mengambil jalan dengan cara menempuh dan memperkaya olah kerohanian dan
ketakwaan sebagai tarekat (jalan) menuju Tuhan.
Pembusukan moral dengan segala dampak negatifnya yang terjadi di kalangan
para penguasa negara itu semakin parah dari waktu ke waktu dan mengakibatkan
semakin keroposnya sendi-sendi pemerintahan dan moralitas para khalifah di
Baghdad dan Cordova. Akibat pertarungan politik internal di kalangan elite
pemerintahan, kekuatan politik dan militer di kedua pusat pemerintahan Muslim
itu semakin merosot, terpuruk, dan keropos. Situasi ini diperparah oleh
menjamurnya akumulasi pola kehidupan materialistik-sekularistik yang bagaikan
kanker menggerogoti sendi-sendi kekuasaan kedua dinasti itu.
Sebagai klimaksnya, peradaban Baghdad pun hancur secara tragis pada tahun
1258 M ketika pasukan Hulagu Khan dari Kerajaan Mongol secara bengis dan kejam
melakukan invasi ke kota itu. Tidak lama kemudian peradaban Islam di Cordova
juga remuk menyusul terjadinya perebutan kembali Andalusia oleh pasukan
Kristen. Kehancuran peradaban Islam di dua pusat kekhalifahan yang megah itu
menyebabkan pula terjadinya keruntuhan pendidikan Islam secara tragis.
Kedua, dari abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-20 Masehi
(sekiltar 4 abad atau empat ratus tahun), umat Muslim di seluruh dunia (dari
Marokko sampai ke Indonesia) dijajah oleh kekuatan-kekuatan
kolonialis-imperialis Barat. Penjajahan ini telah menyebabkan seluruh umat
Muslim (termasuk umat Muslim Indonesia) tereksploitasi, terhisap, tertindas,
dan terkapar dalam lumpur kebodohan dan nestapa kubangan limbah
keterbelakangan. Segala potensi dan energi hanya dimobilisasikan oleh umat
Muslim untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Karena itu, sektor dan kondisi
pendidikan Islam di negeri-negeri Muslim sangat terabaikan dan terlantar.
Ketiga, Islam yang datang dan menyebar ke berbagai belahan
kawasan dunia (yang sekarang dikenal sebagai negeri-negeri Muslim) adalah Islam
Pasca-Baghdad atau Islam Pasca-Cordova yang telah kehilangan elan vital,
potensi ilmiah dan dinamika intelektualitasnya. Karena itu, sistem pendidikan
dan kemampuan ilmiah di kalangan umat Muslim di seluruh dunia pada umumnya
(termasuk umat Muslim Indonesia) kurang berkembang karena tidak/kurang
bermuatan olah pikir dan olah nalar. Pada sisi lain, Islam yang datang ke
berbagai belahan dunia pasca-Baghdad dan pasca-Cordova itu pada umumnya adalah
Islam yang bercorak mistik-sufistik yang secara dominan terboboti oleh olah
rasa dan olah zikir.
Keempat, kondisi sosial ekonomi di kalangan bagian terbesar umat
Muslim (termasuk umat Muslim Indonesia) yang masih tidak begitu menggembirakan.
Kemiskinan finansial dan kemiskinan struktural masih merupakan momok dan
tantangan yang serius di kalangan bagian terbesar umat Muslim. Bangsa-bangsa
Muslim Arab di kawasan Timur Tengah dengan kekayaan minyak yang melimpah ruah
dan gemerincing petro dolar mereka memang dapat digolongkan sebagai
negara-negara kaya.
Namun, dilihat dari ukuran internasional, mereka belum dapat dikatakan
telah menyamai kemajuan pendidikan di negara-negara sekuler Barat. Buktinya,
banyak mahasiswa dan staf pengajar dari bangsa-bangsa Muslim (termasuk dari bangsa-bangsa
Arab dan umat Muslim Indonesia) yang belajar di universitas-universitas Barat,
terutama di bidang teknologi atau
ilmu-ilmu umum. Masih diperlukan kecakapan, kemampuan, keahlian, dan waktu
lebih banyak lagi bagi bangsa-bangsa Muslim yang kaya minyak di Timur Tengah
untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan Islam.
Kelima, pada masa lalu ketika gerakan emansipasi dan gerakan
kesetaraan jender belum bergulir di kalangan negara-negara Muslim, terdapat
adat istiadat yang tidak/kurang mendorong kaum perempuan untuk menuntut ilmu di
perguruan tinggi. Sudah tentu, hal ini menjadi salah satu kendala tidak
senerginya antara cita dan realita dalam penyelenggaraan pendidikan Islam.
Sebenarnya, hal ini lebih disebabkan oleh kungkungan dan pasungan adat istiadat
yang tumbuh dan berkembang di kalangan bangsa-bangsa Muslim, bukan disebabkan
oleh doktrin Islam itu sendiri.
Adat istiadat yang berorientasi pada sistem patriarki menjadi salah satu
sebab tersisihnya kaum perempuan di ruang publik, termasuk dalam kesempatan
belajar, menuntut ilmu, bekerja dan berpartisipasi dalam dunia pendidikan.
Dengan meluasnya gerakan-gerakan kaum feminis Muslim yang menyuarakan ide
emansipasi dan gerakan-gerakan kesetaraan jender, tradisi yang berorientasi
pada budaya patriarki ini sudah mulai ditinggalkan di kalangan Umat Muslim di
seluruh dunia. Sudah banyak kaum perempuan yang menikmati peluang-peluang yang
sama dengan kaum laki-laki dalam memperoleh kesempatan belajar, menuntut ilmu
dan berpartisipasi dalam aktivitas pendidikan serta kegiatan-kegiatan sosial
lainnya.
Kondisi Umum Pendidikan Islam di Indonesia
Sebelum secara khusus melongok kondisi pendidikan Islam di Indonesia, ada
baiknya sekilas kita melihat keadaan pendidikan Islam di luar Indonesia. Kita
ikut merasa bangga, misalnya, dengan Universitas Al-Azhar (Kairo, Mesir) yang
sampai saat ini masih tetap menjadi lambang kemajuan ilmu-ilmu keislaman di
Dunia Islam. Sejak tahun 1960, Universitas Al-Azhar telah membuka program studi
ilmu-ilmu umum seperti kedokteran, teknik, pertanian, dsb., sementara ia tetap
secara konsisten menyelenggarakan program studi-studi keislaman yang bersifat
khas seperti tafsir, ushuluddin, hukum Islam, tarikh, dst. Banyak mahasiswa
dari negara-negara Muslim di seluruh dunia yang berdatangan ke Universitas
Al-Azhar untuk belajar ilmu-ilmu keislaman sesuai dengan bidang studi dan
disiplin keilmuan mereka masing-masing.
Kita pun ikut merasa bangga dengan Universitas Islam Antarbangsa
(International Islamic University) yang ditempatkan di Malaysia dan memiliki
daya pikat tersendiri di kalangan umat Muslim di seluruh dunia. Para alumni
dari kedua universitas ini (dan universitas-universitas Islam lainnya di
seluruh Dunia Muslim) akan dapat memberikan pencerahan intelektual dan
menyumbangkan kemajuan edukasional-kultural bagi Umat Muslim secara keseluruhan.
Setahap demi setahap terjadi peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan di
kalangan bangsa-bangsa Muslim di dunia.
Terobosan-terobosan baru pemikiran, rancang bangun dan upaya-upaya solutif
sangat perlu untuk dilakukan oleh Umat Muslim di seluruh Dunia Islam (terutama
para perencana dan penyelenggara pendidikan Islam) dalam rangka menjawab dan
mengatasi berbagai kompleksitas tantangan modernitas di bidang kependidikan
Islam dewasa ini. Tantangan-tantangan itu dan sekaligus berbagai respons terhadap
tantangan-tantangan tersebut tampaknya sudah disadari oleh para perancang,
pengambil kebijakan, pengelola dan penyelenggara pendidikan Islam, baik di
tingkat nasional (Indonesia) maupun di tingkat internasional (Dunia Islam).
Sekarang, mari kita lihat kondisi pendidikan pada umumnya dan kondisi
pendidikan Islam khususnya di Indonesia. Menurut Mendiknas Muhammad Nuh (Kompas,
18 September 2010, hlm. 12), daya saing pendidikan dasar dan tinggi Indonesia
secara global pada tahun 2010 ini mengalami peningkatan. Mendiknas berharap
pencapaian tersebut dapat menjadi modal utama yang akan terus mendorong
peningkatkan kondisi dan kualitas pendidikan yang semakin mendongkrak daya
saing bangsa Indonesia dalam kancah internasional. Realitas peningkatan ini
didasarkan pada laporan dari The Global Competitiveness Report 2010-2011 yang
dirilis oleh Forum Ekonomi Dunia baru-baru ini. Laporan tersebut menyebutkan
bahwa indeks daya saing global (global competitiveness index) Indonesia
meningkat, yaitu berada di peringkat ke-44 dari 139 negara. Sedangkan tahun
lalu (2009), posisi Indonesia berada di peringkat ke-54 dari 133 negara. Jadi
naik 10 tingkat. Kenaikan sebanyak 10 tingkat dalam satu tahun memperlihatkan
adanya peningkatan daya saing global Indonesia yang signifikan.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN, peringkat daya saing global
Indonesia masih di bawah negara-negara tetangga kita. Singapura menempati peringkat ke-3, Malaysia di posisi ke-26, Brunei
Darussalam di peringkat ke-28 dan Thailand di posisi ke-38. Perbaikan daya
saing global Indonesia terutama disebabkan oleh kondisi makro ekonomi yang
lebih sehat. Selain itu, indikator-indikator pendidikan di jenjang
pendidikan dasar dan pendidikan tinggi juga lebih baik. Di bidang pendidikan
dasar, terjadi peningkatan kualitas dari posisi ke-58 ke peringkat 55 dan
peningkatan partisipasi pendidikan dari peringkat ke-56 ke posisi 52. Daya
saing global Indonesia didongkrak pula oleh peningkatan pendidikan tinggi dan
pelatihan. Indikatornya dapat dilihat dari peningkatan partisipasi pendidikan,
kualitas sistem pendidikan, kualitas matematika dan sains, akses internet di
sekolah dan pelatihan staf.
Selanjutnya, terjadi pula peningkatan di bidang inovasi. Peningkatan di
bidang inovasi ini didorong oleh adanya kerja sama penelitian antara kalangan
industri dan perguruan tinggi yang semakin baik. Hasil positifnya adalah
kolaborasi antara kalangan universitas dan industri di Indonesia menduduki
peringkat ke-26. Akan tetapi, di balik indikator-indikator perbaikan pendidikan
tadi, beberapa indikator lainnya yang juga sangat penting justru mengalami
penurunan. Hal ini dapat dilihat dari merosotnya indikator partisipasi
pendidikan menengah, kualitas manajemen sekolah, kualitas lembaga penelitian,
serta ketersediaan lembaga penelitian dan pelatihan di tingkat lokal.
Peningkatan daya saing pendidikan di Indonesia telah menempatkan 8
perguruan tinggi (PT) Indonesia masuk dalam daftar peringkat atas universitas
dunia pada tahun 2010 ini. Dalam laporannya (lihat Kompas, 20 September
2010, hlm. 12), QS World University Ranking menempatkan Universitas Indonesia
(UI, Jakarta) di ranking ke-236 dan merupakan satu-satunya PTN Indonesia yang
masuk dalam daftar jajaran 300 peringkat atas universitas di dunia. PT lainnya
yang masuk dalam daftar peringkat atas universitas dunia adalah Universitas Gadjah
Mada (peringkat 321), Institut Teknologi Bandung (urutan 401-450), Universitas
Airlangga (ranking 451-500) dan Institut Pertanian Bogor (posisi 501-550).
Selanjutnya, Universitas Diponegoro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember dan
Universitas Brawijaya masuk dalam daftar jajaran peringkat 601+.
Dibandingkan dengan keadaan tahun lalu (2009), posisi beberapa universitas
di Indonesia merosot pada tahun 2010 ini. Tahun 2009, UI menempati ranking ke-201
universitas top di dunia, tapi berada di posisi ke-236 di tahun 2010 ini. Di lingkungan negara-negara ASEAN, UI berada di posisi ke-6. UGM tahun lalu berada di peringkat ke-250, tapi melorot ke posisi 321 pada
tahun 2010 ini. Walaupun demikian, beberapa bidang ilmu di sejumlah universitas
di Indonesia bisa tembus masuk ke dalam daftar peringkat ke-100 dunia. Ilmu
sosial UI menempati posisi ke-95 di tingkat dunia. Bidang teknik dan teknologi informasi ITB menduduki urutan ke-93 di level internasional.
Perlu dicatat, pada tahun 2010 ini Universitas Cambridge (Inggris) meraih
posisi pertama dalam jajaran peringkat atas universitas dunia. Posisi
prestisius yang diraih oleh Universitas Cambridge ini menggantikan posisi
Universitas Harvard (AS) yang sejak tahun 2004 selalu menempati peringkat
pertama.
Peta dan kondisi pendidikan seperti diutarakan di atas secara umum
menggambarkan terjadinya perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Kita berharap
Kementerian Pendidikan Nasional dan seluruh jajaran praktisi pendidikan di
Tanah Air terus berupaya untuk memajukan bidang pendidikan ini karena
pendidikan adalah kunci kemajuan. Perlu dicari terobosan-terobosan baru yang
dapat menjadikan dan mengangkat pendidikan tinggi di Indonesia sehingga dapat
berkualitas dan berkelas dunia.
Sejauh menyangkut pendidikan Islam, perlahan-lahan tapi pasti kita secara
jelas menyaksikan berbagai gerak dinamika dan arus perkembangan-perkembangan
yang cukup signifikan. Di tingkat pendidikan dasar telah banyak muncul
sekolah-sekolah unggulan yang bermutu seperti SD Muhammadiyah Sapen
(Yogyakarta), SD Al-Azhar (Jakarta), SD Al-Izhar, dsb. Di tingkat pendidikan
menengah pertama (SMP), banyak pula sekolah yang didirikan dan dikelola oleh
Muhammadiyah dan yayasan-yayasan pendidikan Islam lainnya yang memiliki mutu
dan kualitas yang menggembirakan dan patut dibanggakan.
Di tingkat pendidikan menengah atas, kemajuan pendidikan Islam ditandai
dengan, misalnya, pendirian sekolah-sekolah menengah atas yang berkualitas. SMA
Muthahari, SMA Madania, MAN Insan Cendekia (Serpong), SMA Al-Azhar dan SMA
Al-Izhar adalah sederet contoh yang dapat disebutkan. Fenomena
perkembangan-perkembangan ini lebih menjadi menarik lagi karena disertai pula
oleh maraknya pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam tradisional
(pesantren) dalam jumlah yang sangat besar (diperkirakan berjumlah 12.000 buah)
dan tersebar di seluruh pelosok tanah air. Pesantren ini sebagian ada yang
masih bercorak salaf (menggunakan rujukan kitab-kitab kuning dengan sistem
pengajaran sorogan dan wetonan) dan sebagian lagi ada yang bercorak khalaf
(sistem kelas dan program studi berjenjang dan terstruktur). Fenomena yang
sangat menarik adalah prestasi yang dicapai oleh Pondok Modern Gontor. Pondok
ini telah membuka cabang-cabangnya di banyak provinsi di Indonesia dengan tetap
memakai sistem Gontor. Bahasa Arab dan Inggris menjadi dua bahasa untuk
berkomunikasi di pondok ini.
Kemajuan-kemajuan menarik di tingkat perguruan tinggi secara fenomenal
ditandai dengan pendirian banyak universitas Islam di kota-kota besar di
Indonesia, antara lain Universitas Muhammadiyah (Malang, Surakarta, Yogyakarta,
Sidoarjo, Jakarta, Kupang, Magelang), Universitas Islam Malang (Unisma), Universitas
Darul Ulum (Jombang), Unissula/Universitas Islam Sultan Agung (Semarang), UII/Universitas Islam Indonesia
(Yogyakarta), Universitas Islam Cokroaminoto (Yogyakarta), Universitas Islam
Jakarta, Universitas Hamka (Jakarta), Universitas Ibnu Khaldun (Bogor),
Unisba/Universitas Islam Bandung (Jawa Barat), Uninus/Universitas Islam
Nusantara (Bandung), Universitas Paramadina (Jakarta), Universitas Muslim
Makassar, dsb.
Di samping perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam swasta tadi, ada pula
STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri), IAIN (Institut Agama Islam Negeri)
dan UIN (Universitas Islam Negeri) yang didirikan, dikelola dan didanai oleh
pemerintah (Kementerian Agama) yang tersebar di seluruh Tanah Air. STAIN
didirikan di banyak kota kabupaten, sedang IAIN dibangun di banyak kota provinsi.
Sudah ada enam UIN yang ditransformasikan dari IAIN. Keenam UIN tersebut
adalah: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN
Malang, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, dan UIN
Alauddin Makassar. Keenam UIN tersebut telah membuka program S-2 dan program
S-3 dengan penekanan spesialisasi keilmuan masing-masing. Selain program studi
ilmu-ilmu agama, UIN juga telah menawarkan program studi ilmu-ilmu umum seperti
biologi, fisika, matematika dan kedokteran.
Melihat berbagai fenomena yang terjadi di atas, kita berkesimpulan bahwa
dewasa ini sedang terjadi fenomena perkembangan yang sangat menarik dalam dunia
pendidikan Islam di Indonesia sebagaimana dipaparkan di atas. Kendatipun
demikian, keberadaan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi-perguruan tinggi
Islam di atas masih terasa kurang karena belum seimbangnya antara jumlah
masyarakat Muslim Indonesia dan lembaga-lembaga pendidikan yang mereka miliki.
Hal ini terbukti masih banyak murid, pelajar dan mahasiswa yang belum
tertampung secara signifikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Inilah
kenyataan yang cukup ironis dan memperihatinkan!
Dewasa
ini masih banyak murid, pelajar dan mahasiswa Muslim yang belajar di
lembaga-lembaga pendidikan non-Islam dan keadaan seperti ini terjadi dalam
kurun waktu yang sangat panjang. Dengan cara yang sangat simplistik, cepat dan
gampang, kita sering menyayangkan dan bahkan “mempersalahkan” para murid,
pelajar dan mahasiswa Muslim yang bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan
non-Muslim tadi. Kita percaya cara pandang dan sikap demikian tidak tepat
dan tidak menyelesaikan persoalan yang melilit dunia pendidikan Islam.
Sebaiknya kita melakukan kritik diri terhadap keadaan pendidikan kita yang
masih memerlukan penataan dan pengembangan yang lebih rapi, maju dan moderen
berdasarkan sistem manajemen yang profesional.
Berpacu ke Masa Depan
Demikianlah, secara umum, kondisi umum dunia pendidikan Islam di Indonesia
dewasa ini. Untuk lebih berpacu dan menata diri ke masa depan, sudah saatnya
umat Muslim Indonesia (dan Umat Muslim di seluruh dunia) melakukan segala daya
dan upaya untuk lebih memperbaiki kualitas dan meningkatkan mutu pendidikan
Islam. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Umat Muslim Indonesia untuk merespons
dan menanggulangi kompleksitas tantangan modernitas di bidang pendidikan Islam
ini harus bersifat komprehensif, integral dan solutif. Upaya-upaya penting dan
strategis yang harus dilakukan oleh umat Muslim Indonesia (dan Umat Islam di
seluruh dunia), terutama oleh para pembuat kebijakan, perencana dan
penyelenggara pendidikan Islam, antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama, para perencana dan penyelenggara pendidikan Islam
hendaknya menerapkan secara konsisten nilai-nilai dasar integralistik Islam (12
butir sebagaimana telah diuraikan di atas) ke dalam seluruh bangunan visi,
orientasi dan misi pendidikan sehingga format penataan dan penyelenggaraan
sistem pendidikan Islam mempunyai fondasi teologis-filosofis sebagai titik
pangkal dan sekaligus sebagai tujuan akhir dari pendidikan Islam itu sendiri.
Fondasi teologis-filosofis-Qur’ani yang kukuh dan kuat yang melandasi sistem
pendidikan Islam sudah pasti akan mampu bertahan terhadap berbagai gelombang
benturan paham, filsafat, ideologi dan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan
Islam.
Kedua, para perancang dan pelaksana pendidikan Islam hendaknya
secara kontinyu melakukan pembaruan kembali (reorientasi, reformasi,
rekonstruksi, reaktualisasi dan restrukturisasi) sistem pendidikan Islam yang
sudah dirasa kurang memadai atau tidak relevan lagi dengan denyut perkembangan
zaman. Modernisasi dan reformasi sistem pendidikan Islam ini sangat diperlukan
untuk menyesuaikannya dengan kondisi terkini sehingga dengan demikian sistem pendidikan
Islam itu selalu up to date (sesuai dengan kemajuan zaman) dan tidak out
of date (ketinggalan zaman). Sistem pendidikan dapat saja direkonstruksi
dan direstrukturisasi, tetapi muatan falsafah-Qur’aniyah dan nilai-nilai dasar
integralistik pendidikan Islam harus tetap menjadi prinsip landasan strategis
yang tidak bisa diubah atau diganti.
Ketiga, para pembuat kebijakan dan penyelenggara pendidikan
Islam hendaknya menggunakan segala daya dan upaya untuk terus menerus melakukan
pembaruan seluruh muatan kurikulum pada setiap jenjang dan satuan pendidikan
(dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi) agar muatan kurikulum tadi
sesuai dengan gerak perkembangan terkini di bidang sains dan teknologi. Dengan
demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelajari dan diserap oleh para
pelajar dan mahasiswa Muslim selalu sesuai dengan denyut perkembangan sains dan
teknologi mutakhir.
Keempat, para pengambil kebijakan dan pelaku pendidikan Islam
hendaknya secara konsisten tetap mempertahankan dan menyelenggarakan program
studi ilmu-ilmu keislaman (dirasat Islamiyah) yang bersifat khas (seperti
bahasa Arab dengan segala cabangnya, tafsir Alqur’an, hadits, hukum Islam,
fikih dan ushul fikih, tauhid, tarikh, dst) dengan selalu meningkatkan bobot
materi dan mutu penyajiannya dengan menggunakan metode pengajaran dan
pendidikan yang terpadu dan sinergis. Karena program studi inilah yang secara
mendasar memberi ciri khas dan jati diri lembaga pendidikan Islam pada semua
satuan dan jenjang pendidikan.
Kelima, para perancang dan praktisi pendidikan Islam hendaknya
mengembangkan tradisi akademik, budaya ilmiah dan mental ilmu di kalangan staf
pengajar dan para pelajar/mahasiswa. Karena salah satu aspek kemajuan
pendidikan Islam bisa diukur dari kekuatan tradisi akademik, budaya ilmiah dan
mental ilmu yang dimiliki oleh para staf pengajar dan para
pelajar/mahasiswanya. Tanpa didukung oleh tradisi akademik, budaya ilmiah dan
mental ilmu yang kuat, suatu lembaga pendidikan Islam akan sulit untuk
berkembang secara pesat.
Keenam, para perencana dan praktisi pendidikan Islam hendaknya
menyelenggarakan program-program peningkatan kualitas akademis bagi seluruh
staf pengajar melalui program studi S-2 dan S-3 baik di dalam maupun di luar
negeri. Terkait juga dengan masalah ini adalah penyelenggaraan program
pelatihan penelitian, baik bagi staf pengajar maupun bagi para mahasiswa.
Dengan demikian, kemampuan ilmiah-akademis dan kemampuan meneliti para dosen
dan mahasiswa akan terus meningkat. Semakin berkualitas para staf pengajar dan
para mahasiswa pada suatu perguruan tinggi Islam, semakin berbobot pula
kualitas akademis dan kualitas kemampaun meneliti di kalangan mereka.
Ketujuh, para pelaku dan aktivis pendidikan Islam hendaknya
mengembangkan berbagai program kerja sama ilmiah, penelitian dan pertukaran
pendidikan antar-lembaga pendidikan (tinggi) Islam pada tingkat nasional dan
tingkat internasional. Program seperti ini sangat penting karena bertujuan
untuk terus meningkatkan kualitas ilmiah-akademis, kualitas kemampuan meneliti,
dan memperluas cakrawala pemikiran dan wawasan ilmiah di kalangan staf pengajar
dan para mahasiswa. Selain itu, program kerja sama demikian akan bermanfaat
bagi tukar menukar keilmuan dan informasi yang sangat diperlukan dalam rangka
saling memajukan kualitas pendidikan Islam.
Kedelapan, para pengambil kebijakan dan
praktisi pendidikan Islam hendaknya mengembangkan segala potensi, dana, daya
dan usaha untuk meningkatkan keterampilan, kecakapan, kepemimpinan dan
kemampuan manajemen pendidikan pada setiap satuan dan jenjang pendidikan.
Karena salah satu faktor utama keberhasilan sistem pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan Islam akan sangat ditentukan juga oleh kemampuan
administratif, finansial dan manajerial dari para pengelola dan penyelenggara
pendidikan Islam.
Kesembilan, para pelaksana pendidikan Islam hedaknya
melakukan rekonstruksi dan modernisasi prasarana dan sarana pendidikan Islam di
segala bidang sejalan dengan tuntutan modernitas. Fasilitas-fasilitas seperti
ruangan diskusi dan seminar, student center (pusat kegiatan mahasiswa),
laboratorium untuk kepentingan program praktikum, komputer dan perpustakaan
hendaknya menjadi perioritas utama dalam mengembangkan fasilitas, prasarana dan
sarana pendidikan Islam.
Perpustakaan, yang menjadi jantung dan tulang punggung suatu perguruan
tinggi Islam, hendaknya diupayakan untuk ditata dan dikelola secara profesional
dengan menggunakan sistem manajemen moderen. Pemakaian sistem komputerisasi
yang moderen dan canggih yang selalu on line antar-unit kerja di lingkungan
kampus dan pelayanan pinjaman buku antar-perpustakaan universitas hendaknya
diupayakan sebagai kelengkapan fasilitas moderen yang amat memudahkan cara
kerja yang praktis, produktif, efektif dan efisien.
Kesepuluh, para penyelenggara pendidikan Islam
hendaknya mengembangkan areal kampus seluas mungkin karena kampus yang luas
akan dapat menampung banyak orang dan banyak barang. Taman-taman hijau yang rindang dan kolam-kolam yang
indah dan menyejukkan hendaknya diupayakan sebagai bagian kelengkapan kampus
yang moderen. Kafe untuk keperluan makan dan minum yang bernuansa asri dan
lestari bagi seluruh masyarakat kampus hendaknya diupayakan dengan pelayanan
yang penuh keramahan. Berbagai fasilitas olah raga dan areal parkir mobil dan
motor hendaknya juga diupayakan agar memberi kenyamanan dan kemudahan bagi
masyarakat kampus.
Kompleksitas tantangan kependidikan di tengah-tengah arus benturan pendidikan
sekuler dan peradaban non-Islami masih terus membayang dan menghadang di
hadapan umat Muslim Indonesia. Secara bertahap, terarah dan terprogram,
kompleksitas tantangan kependidikan di tengah pergumulan modernitas ini harus
terus direspons dan ditanggulangi secara serius oleh umat Muslim, terutama oleh
para penggagas, perancang dan praktisi yang bergerak di dunia pendidikan Islam.
Hanya dengan cara itu, mutu akademis, kemampuan intelektualitas, kualitas
moralitas dan kemampuan profesionalitas umat Muslim pada masa-masa mendatang
dapat ditingkatkan secara signifikan. Jika hal ini dapat dilakukan oleh para perancang
dan para praktisi pendidikan Islam, Umat Islam dapat bersaing dan merebut
posisi terhormat di tengah-tengah kerasnya persaingan era global dewasa ini.
Umat Islam harus berpacu maju ke masa depan dan berupaya mengukir karya
kependidikan yang berkualitas tinggi dalam arti yang seluas-luasnya. Umat Islam
tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus siap secara mental, edukasional, intelektual
dan kultural menggeluti dan menggumuli kompleksitas tantangan modernitas di
bidang pendidikan. Melalui perbaikan kualitas dan peningkatan mutu pendidikan,
Umat Islam hendaknya terus berpacu membangun dan membina masyarakat madani,
yaitu masyarakat yang berkeadaban, masyarakat yang bermoral kenabian,
masyarakat cerdas dan trampil yang memadukan olah zikir dan olah pikir,
masyarakat yang berkebudayaan dan berperadaban dengan tetap berpegang teguh kepada
ajaran dan ruh Qur’ani.***
Daftar Pustaka
Abrasyi, Al. At-Tarbiyah
al-Islamiyah wa Falsafatuha. Mesir: Isa al-Babi wa Surakah, 1969.
Ahmad, Khurshid. “Islam and the Problem of Educational
Reconstruction.” Dalam AlJami’ah, no. 5 Th XII, 1974, hlm. 55-73.
Ali, A.
Mukti. “Universitas dan Prinsip-prinsip Perubahan Masyarakat.” Dalam Al-Jami’ah
no. 1 Th. XII, 1973, hlm. 1-7.
Ali, A. Mukti. “Beberapa Pertimbangan Tentang Peningkatan Mutu
IAIN dan Kurikulum.” Dalam Al-Jami’ah, no. I, Januari 1971, hlm. 3-10.
Amijaya, D.A.
Tisna. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1976-1985.
Jakarta: Dirjen Dikti, 1976.
Amin, Mustafa.
Tarikh at-Tarbiyah. Cet. ke-2. Kairo:
Al-Ma’arif, 1926.
Anshari, Endang Saifuddin. Kuliah al-Islam: Pendidikan
Islam di Perguruan Tinggi. Bandung: Perpustakaan Masjid Salman ITB, 1970.
Arifin, Anwar. Memahami
Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang Sisdiknas. Jakarta:
POKSI VI FPG-DPR RI, 2003.
Attas, S.N. Al. Aims
and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University,
1979.
Attas, S.N. Al. The
Concept of Education in Islam: A Framework for Islamic Philosophy of Education.
Jeddah: King Abdul Azis University, 1979.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Jakarta: Logos,
1999.
Bailyn, Bernard. Education in the
Forming of American Society. New
York: W.W. Norton & Company, Inc.
1972.
Baseline Study of
IAIN: The Guidelines of IAIN Development Plan for Twenty-Five Years. Jakarta: Censis-IAIN
Jakarta-Ditbinperta, 1996.
Bilgrami, Hamid
Hasan dan Sayid Ali Asyraf. Konsep Universitas Islam. Terj. Machnun
Husein. Yogyakarta: PT
Tiara Wacana, 1989.
”Daya Saing
Pendidikan Naik.” Dalam Kompas, 18 September 2010, hlm. 12.
Bok, Derek. Higher
Learning. Cambridge: Harvard University
Press, 1986.
Data Potensi Pondok
Pesantren Seluruh Indonesia
Tahun 1977. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Perguruan Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, Departemen Agama RI, 1977.
Dhofier,
Zamakhsyari. “The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the Kyais in the
Maintenance of the Traditional Ideology in Java.” Disertasi doktor, Monash Universitry, 1960.
Fajar, A. Malik
et al. Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1999.
Fajar, A. Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1998.
Faruqi, Ismail dan Lois Lamya aI-Faruqi. The Cultural Atlas of Islam. New York: Macmillan
Publishing Company, 1986.
Faruqi, Ismail
Raji. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka, 1983.
Gibb, Hamilton
A.R. Studies on the Civilization of Islam. Disunting oleh S.J. Shaw dan
W.R. Polk. Boston:
Beacon Press, 1962.
Gilet, M. “The IAIN in Indonesian
Higher Education.” Dalam Muslim Education Quarterly, Vol. 8, 1990, hlm.
21-32.
Gutek, Gerald L. Philosophical and Ideological Perspectives
on Education. Boston:
Allyn and Bacon, 1989.
Hamidjojo,
Santoso S. et al. Platform Reformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Tim Kerja Peduli
Reformasi Pendidikan Nasional, 1998.
Hamm, Cornel
M. Philosophical Issues in Education: An
Introduction. New York:
The Falmer Press, 1989.
Hidayat,
Komaruddin dan Hendro Prasetyo, eds. Problem dan Prospek IAIN: Antologi
Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Islam, Departemen Agama RI, 2000.
Hoesin, Oemar Amin. Kultur Islam. Cet. ke-2.
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Holt, P. M. et al. The Cambridge History of Islam.
2 vols. Cambridge: Cambridge University Press, 1970.
Ibn Khaldun,
Abdurrahman. Muqaddimah. Beirut:
Darul Kutub al-’Ilmiyah, 1993.
Ikram, S.M. Muslim
Civilization in India.
Disunting oleh Ainshie T. Embree. New York: Columbia University Press, 1964.
Ismail, Faisal. Paradigma Kebudayaan Islam. Jakarta: Mitra Cendekia,
2004.
Jabali, Fuad dan
Jamhari. IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta, Logos, 2002.
Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi, eds. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi
Daerah. Yogyakarta: Adicipta, 2001.
Kelompok Kerja, Filosofi,
Kebijaksanaan dan Strategi Pendidikan Nasioanl. Jakarta: Depdikbud 1999.
Khan, Mohammad Abdur Rahman. Muslim Contribution to Science and
Culture. Lahore:
Mohammad Ashrof, 1946.
Khayyat, Muhyiddin al. Durus at-Tarikh al-Islâmi. Jilid
III. Beirut:
tp.; t.t.
Khazin, William al. Al-Hadlarah al-Abbasiyah. Cet. ke-3. Beirut: Dar alMasyriq,
1992.
Leibbrandt,
Gottfried. “The Unisco World Conference on Higher Education in the 21st
Centurey and its Follow-up.” Makalah dipresentasikan dalam seminar
internasional tentang “Managing Higher Education in the Third Millennium,” Jakarta, 25-26 Oktober
1999.
Makdisi, George. The Rise of Colleges: Institution of Learning
in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981.
Nadwi, Abu Hasan
An. Nahwa at-Tarbiyah al-Islamiyah al-Hurrah. Kairo: Al-Mukhtar
al-Islami, 1974.
Nakamura, Mitsuo
dan Setsuo Nishino. “Islamic Higher Education in Indonesia.” Dalam Higher
Education Policy,” Vol. 6, No. 2, hlm. 51-54.
Nasr, Sayyed Hossein. Science and Civilization in Islam. Edisi
ke-2. Cambridge:
The Islamic Text Society, 1987.
” Pendidikan: 8 PTN Indonesia Masuk Top Dunia.” Dalam Kompas,
20 September 2010, hlm. 12.
Perwiranegara,
Alamsjah Ratu. Pembinaan Pendidikan Agama. Jakarta: Departemen Agama RI,
1982.
Pondok Pesantren
Al-Amien.
Sumenep: Pustaka Al-Amien, 1996.
Post Graduate
Prospectus 1994-1995. Kuala
Lumpur, Malaysia:
International Islamic University, 1995.
Prasodjo, Sudjoko et al. Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian Pesantren
Al-Falak dan Delapan Pesantren Lain di Bogor. Jakarta: LP3ES, 1982.
Ranuwihardjo,
Sukaji. Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1986-1995.
Jakarta: Dirjen
Dikti, 1986.
Robinson, Francis. Atlas of the Islamic World since 1500. New York: Facts on File,
Inc., 1989.
Schacht, Joseph dan C. E. Bosworth, eds. The Legacy of Islam. Edisi.
ke-2. Oxford:
The Clarendon Press, 1963.
Shaleh, Abdul
Rahman. Pendidikan Agama dan Keagamaan: Visi, Misi dan Aksi. Jakarta:
Gemawindu Pancaperkasa, 2000.
Sharif, M. M. Alam Fikiran Islam: Peranan Umat Islam
dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Cet. ke-2. Terj. Fuad Moh. Fachruddin. Bandung: Diponegoro, 1979.
Sirozi, Muhammad. Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia:
Peran Tokoh-Tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1998. Leiden-Jakarta:
INIS, 2004.
Soecipto, H.A. dan
Agussalim Sitompul. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan IAIN. Yogyakarta: Lembaga Pengabdian pada Masyarakat IAIN Sunan
Kalijaga, 1986.
Soehendro, Bambang. Kerangka
Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1996-2005. Jakarta: Dikti, 1996.
Steenbrink, Karel A. Pesantren,
Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES,
1986.
Sulaiman, Fathiah
Hasan. Mazahib fit-Tarbiyah: Bahtsun fil Mazhab ‘inda al-Ghazaali. Kairo: Maktabah Nahdiyah Misty, 1964.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Terj.
Mukhtar Yahya. Jakarta: Jayamurni, 1973.
Tilaar, H.A.R. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta,
2002.
Tilaar, HAR. Beberapa
Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Magelang:
Tera Indonesia,
1998.
UNESCO. Higher
Education in the Twenty First Century: Vision and Action. Paris: UNESCO, 1998.
Vatikiotis, Michael. “Faith in Teaching:
Muslims Say New Education Law is too Secular.” Dalam Far Eastern Economic
Review, vol. 30, no. 141 (July 28, 1988), hlm. 25.
Watt, William Montgomery. A History of Islamic Spain.
Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1977.
Watt, William Montgomery. The Influence of Islam on Medieval Europe. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1987.
Watt, William Montgomery. The Majesty That was Islam. New York: Praeger
Publishers, 1974.
William, John Alden. Themes of Islamic Civilization. Berkeley: University
of California Press,
1982.
Zaidan, Jurji. Tarikh at-Tamaddun al-Islami. Lima jilid. Kairo: Dar
alHilal, 1957.