PENDIDIKAN SWASTA DALAM SISDIKNAS (Telaah UU No 20 Th 2003 Tentang Sisdiknas : Kebijakan, Implementasi dan Realitas)
Bab I
Pendahuluan
Secara
historis, kemunculan pendidikan swasta sudah ada sebelum Indonesia merdeka.
Format awal lembaga lembaga pendidikan swasta pada waktu itu lebih bersifat.
Pesantren atau yang semisal dengannya (surau, kedah dan lainya) bisa dikatakan
sebagai bentuk awal lembaga pedidikan swasta yang bersifat keagamaan, di mana
mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam banyak memanfaatkan lembaga
ini sebagai sentra pendidikan (agama). Walau mengambil bentuknya yang tidak
formal, keberadaan Pesantren ini sebagai lembaga pendidikan dianggap berhasil
dalam menciptakan pribadi pribadi yang sadar secara agama dan berhasil
membentuk watak masyarakat Indonesia. Namun pada saat itu, pondok pesantren
hanya diangap sebagai lembaga pendidikan jalur luar sekolah, sehingga out-put
pesantren tidak diakui keberadaannya.[1] Selanjutnya, selain
pesantren, lahir pula lembaga pendidikan bernuansakan agama, seperti dari
golongan Islam di antara sekolah yang muncul adalah sekolah pendidikan Muhammadiyah dan Ma’arif. Di lain pihak, juga muncul sekolah-sekolah yang tidak
mendasarkan pada asas keagamaan, yaitu antara lain sekolah Kartini dan Taman Siswa. Sekolah-sekolah swasta ini, atas dasar kebijakan
Jenderal Van Heutz seorang gubernur pemerintahan penjajah Belanda, kemudian
mendapat subsidi dari pemerintah Belanda dengan syarat mematuhi peraturan dan
tidak mengganggu ketertiban umum. Sekolah-sekolah swasta (khususnya
sekolah/ madrasah berasas Islam yang mendapat restu dari penjajah) pada masa
ini mengalami transformasi dan bebas mengekspresikan diri untuk berkembang pada
arah yang lebih maju.
Pada masa awal kemerdekaan (tahun 1946-1950), secara umum kondisi dan
posisi pendidikan swasta dalam pendidikan nasional tidak jauh berbeda dengan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Menurut laporan Panitia
Penyelidik Pengajaran pada waktu itu (1946), pendidikan swasta diperlakukan
secara wajar, bahkan dalam hal-hal tertentu disebutkan tanpa ada diskriminasi.
Di antara,isi laporan tersebut yang tidak diskriminatif adalah tentang adanya persamaan
dalam hal ijazah, di mana ijazah negeri dan swasta tidak dibedakan. Juga,
dibolehkannya murid-murid sekolah swasta untuk berpindah atau melanjutkan
pelajarannya di sekolah negeri.
Dalam undang-undang no. 4 tahun 1950 pasal 14 tentang subsidi bagi sekolah
swasta disebutkan bahwa sekolah swasta dapat menerima subsidi dari pemerintah
untuk pembiayaan sekolah dengan syarat syarat yang ditetapkan oleh peraturan
pemerintah. Subsidi ini bisa diberikan seratus persen atau sekedarnya kepada semua jenis dan tingkat sekolah.[2]
Namun pada kenyataanya, porsi yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan
pendidikan swasta dalam penyelenggaraan pendidikan dan timbul keengganan pihak
swasta untuk memanfaatkan subsidi tersebut.
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian
Pendidikan Swasta
Pendidikan Swasta adalah pendidikan sekolah/ madrasah yang
diselenggarakan oleh organisasi swasta atau non-pemerintah. Dasar kehadirannya
adalah untuk membantu meringankan beban pemerintah dalam usahanya mewujudkan kebutuhan
kebutuhan hidup masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan swasta ikut berperan
aktif sebagai mitra pemerintah dalam mencerdaskan masyarakat dan menyadarkannya
akan kebutuhan pengetahuan, sehingga mereka mampu menciptakan kreativitas baik
dalam bidang ekonomi, politik maupun kebudayaan.[3]
B. Tanggung
jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
1. Tanggung
jawab masyarakat
Pendidikan nasional merupakan tanggung
jawab seluruh warga negara indonesia
tidak hanya pemerintah saja, hal tersebut diatur dalam UU No 20 th 2003 tentang
SISDIKNAS. Butir-butir yang menyatakan hal tersebut adalah:
a. Bab I Pasal I (27) Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia
nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
b.
BAB III Pasal 4 (6) : Pendidikan diselenggarakan dengan
memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
c. BAB IV Pasal 6 (2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Pasal 8 : Masyarakat
berhak berperan serta dalam perencanaan,pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
program pendidikan.
Pasal 9 : Masyarakat berkewajiban
memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
d. BAB VI Pasal 16
Jalur,
jenjang, dan
jenis pendidikan dapat
diwujudkan
dalam bentuk
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.[4]
Berdasarkan butir-butir undang-undang diatas, sangat jelas
dinyatakan bahwa masyarakat mempunyai hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional. Masyarakat yang kemudian dapat disebut “swasta” dapat
mendirikan suatu lembaga pendidikan sampai kepada proses pengelolaannya.
2. Peran serta masyarakat (swasta) dalam penyelenggaraan
pendidikan
Dengan hak dan tanggung jawab masyarakat akan pendidikan
nasional, maka timbul kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam mencerdaskan
bangsa dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Pendidikan yang dipelopori
oleh masyarakat yang disebut “pendidikan berbasis masyarakat” ini juga yang
dikenal dengan pendidikan swasta. Secara historis,pendidikan swasta juga
merupakan elemen utama sebagai penggerak pendidikan di Indonesia. Peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan diatur dalam UU Sisdiknas, yaitu:
a. Bab
XV
Pasal
54
1)
Peran serta
masyarakat dalam pendidikan meliputi peran
serta
perseorangan,
kelompok, keluarga, organisasi
profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan
dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
2)
Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna
hasil
pendidikan.
Pasal 55
1) Masyarakat berhak menyelenggarakan
pendidikan
berbasis
masyarakat pada
pendidikan formal dan
nonformal sesuai dengan kekhasan
agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk
kepentingan masyarakat.
2) Penyelenggara pendidikan berbasis
masyarakat mengembangkan
dan
melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan,
serta manajemen dan
pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
3)
Dana penyelenggaraan
pendidikan
berbasis
masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah
daerah dan/atau
sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh
bantuan teknis,
subsidi
dana, dan
sumber daya lain
secara
adil dan
merata dari
Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah.
b.
Bab XI Pasal 44
2)
Penyelenggara pendidikan
oleh masyarakat berkewajiban membina dan
mengembangkan tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan
yang
diselenggarakannya.
Dalam bunyi bab XV Pasal 54 ayat 2, masyarakat sebagai
sumber dan pelaksana dapat diartikan bahwa masyarakat mempunyai tanggung jawab
penuh terhadap pengelolaan pendidikan, seperti dalam operasional teknis,
pengadaan sarana maupun pembiayaan.
Pasal 55 ayat 3 kemudian mengatur bahwa pemerintah
mempunyai peluang untuk ikut dalam pembiayaan pendidikan berbasis masyarakat.
Namun namanya juga peluang tentu bisa iya bisa juga tidak. Sisipan kata “dapat”
dalam susunan kalimat tidak memberikan kejelasan dan kesungguhan pemerintah
untuk ikut membantu dalam pembiayaan pendidikan berbasis masyarakat. Dalam ayat
4 juga sama, pemerintah menyisipkan kata “dapat” dalam susunan kalimat sebagai
alibi untuk angkat tangan dalam urusan tersebut.
Hal tersebut berarti bahwa masyarakat tetap sebagai
penanggung jawab utama baik dalam dalam pembiayaan maupun dalam
pelaksanaannnya. Hal tersebut juga diperkuat dengan bunyi Bab XI Pasal 44 ayat
2, bahwa masyarakat harus konsisten dan bertanggung jawab atas lembaga
pendidikan yang diselenggarakannya.
C.
Tanggung jawab pemerintah
terhadap pendidikan swasta
a.
Bab IV
Pasal 10
Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 11
(1) Pemerintah dan
pemerintah daerah
wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi
setiap warga
negara tanpa diskriminasi.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap
warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
b. BAB VIII
Pasal 34
1) Pemerintah dan
pemerintah daerah
menjamin terselenggaranya
wajib belajar
minimal pada jenjang pendidikan
dasar tanpa memungut biaya.
2) Wajib
belajar merupakan tanggung
jawab negara
yang diselenggarakan
oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
c. BAB XI
Pasal 41
(3)
Pemerintah
dan pemerintah
daerah wajib
memfasilitasi satuan pendidikan
dengan pendidik dan tenaga kependidikan
yang diperlukan
untuk menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
Pasal 44
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan
formal yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
Bunyi-bunyi ayat-ayat
tersebut diatas menyatakan dengan jelas bahwa pemerintah bertanggung jawab dan
mempunyai kewajiban terhadap terselenggaranya pendidikan terutama pendidikan
dasar 9 tahun. Kali ini pemerintah lebih memberi kejelasan dengan tidak
menyisipkan kata “dapat” dalam tanggung jawabnya terhadap pendidikan dasar
(wajib belajar 9 Tahun) yaitu pendidikan tingkat SD dan SLTP. Wajib belajar
sebagai kewajiban warga negara yang diatur oleh pemerintah menjadi tanggung
jawab penuh pemerintah. Hal itu berarti bahwa seluruh penyelenggaraan
pendidikan dasar baik yang oleh institusi pemerintah maupun masyarakat menjadi
tanggung jawab pemerintah untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang bermutu.
Tanggung jawab tersebut berarti baik dalam pembiayaan, sarana prasarana, maupun
pengadaan atau pembinaan sumber daya manusia (tenaga kependidikan).
Dalam Bab IV pasal
11 ayat 1 dinyatakan bahwa pemerintah maupun pemerintah daerah mempunyai
kewajiban untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu tanpa
diskriminasi, namun dalam kenyataan dilapangan tidak sesuai dengan hal
tersebut. Dalam tataran aplikasi, pembiayaan pendidikan
dibedakan antara lembaga-lembaga milik Negara (sekolah-sekolah negeri) dan
lembaga masyarakat (sekolah-sekolah swasta). Pembiayaan pendidikan antara kedua
jenis lembaga itu memiliki karakteristik yang berbeda. Sekolah negeri adalah
sekolah milik Negara yang pembiayaannya menjadi tanggung jawab Negara
sepenuhnya. Oleh sebab itu akuntabilitas dari kedua jenis lembaga pendidikan
tersebut berbeda nuansanya.
Sekolah-sekolah swasta yang sering disebut-sebut sebagai mitra pemerintah dalam pendidikan acapkali mengalami kesulitan serius menyikapi kebijakan pemerintah. Kebijakan BOS yang dibarengi dengan embel-embel dalam rangka mencapai sekolah gratis sungguh merisaukan penyelenggara pendidikan swasta, khususnya yang memiliki keterbatasan daya saing. Diskriminasi pemerintah juga terjadi seperti dalam pelabelan lembaga pendidikan swasta dengan pemberian status terdaftar, diakui, disamakan dan terakreditasi. Hal itu sangat jelas memberikan persepsi pembedaan tingkat atau status antara sekolah swasta dan negeri. Seharusnya pemerintah memberikan standar kelayakan yang jelas pada tiap-tiap lembaga pendidikan swasta ketika mendirikan dan menyelenggarakan pendidikan.
Sekolah-sekolah swasta yang sering disebut-sebut sebagai mitra pemerintah dalam pendidikan acapkali mengalami kesulitan serius menyikapi kebijakan pemerintah. Kebijakan BOS yang dibarengi dengan embel-embel dalam rangka mencapai sekolah gratis sungguh merisaukan penyelenggara pendidikan swasta, khususnya yang memiliki keterbatasan daya saing. Diskriminasi pemerintah juga terjadi seperti dalam pelabelan lembaga pendidikan swasta dengan pemberian status terdaftar, diakui, disamakan dan terakreditasi. Hal itu sangat jelas memberikan persepsi pembedaan tingkat atau status antara sekolah swasta dan negeri. Seharusnya pemerintah memberikan standar kelayakan yang jelas pada tiap-tiap lembaga pendidikan swasta ketika mendirikan dan menyelenggarakan pendidikan.
Realisasi pemerintah
sebagai tanggung jawabnya dalam pelaksanaan undang-undang tersebut adalah
adanya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan
dana program-progam lain yang membebaskan peserta didik dari biaya pendidikan
dasar 9 tahun. Namun dana-dana tersebut hanya dianggarkan untuk kegiatan
operasional dan kebutuhan peserta didik saja, sedangkan kebutuhan dan
kesejahteraan tenaga kependidikan tidak masuk dalam anggaran tersebut. Padahal
kesejahteraan guru juga sangat berpengaruh dengan motivasi dan kinerja guru
yang menghasilkan mutu pendidikan.
Kebijakan BOS secara umum sangat
membantu sekolah dan orangtua murid. Namun kala kebijakan ini langsung
dilanjutkan dengan program sekolah gratis maka menimbulkan benturan-benturan di
lapangan.Sekolah-sekolah swasta membutuhkan kebijakan khusus berkaitan dengan
program BOS jka keberadaannya masih tetap dibutuhkan. Sebenarnya,
sekolah-sekolah negeri pun mengalami masalah serupa, terutama ketika mereka
tidak boleh menarik iuran sama sekali. Akhirnya di lapangan muncul berbagai
trik kebijakan untuk memayungi penarikan iuran. Salah satu yang juga disorot adalah
keberadaan sekolah bertaraf Internasional yang diberi keleluasaan menarik
iuran. Alhasil, sekolah-sekolah tersebut bersifat eksklusif. Padahal pendidikan
adalah hak setiap warga negara.[5]
Hal tersebut
menimbulkan kesenjangan dalam kualitas pendidikan. Terutama bagi institusi
swasta yang lemah, baik sumber daya manusia maupun dalam pendanaaannya.
Berbicara tentang kualitas pendidikan sangat sensitif dengan masalah pendanaan,
karena penyelenggaraan pendidikan membutuhkan anggaran yang cukup untuk
memenuhi segala kebutuhannya. Bagi institusi pendidikan swasta yang kuat dapat
memenuhi kebutuhan dana, baik untuk menunjang sarana prasarana maupun untuk
membayar gaji guru dan karyawan. Sedangkan institusi swasta yang lemah hanya
bisa bertahan dan menjalankan operasional pendidikan dengan dana BOS yang
terbatas.
D. Lembaga
pendidikan swasta dalam kompetisi pendidikan nasional
Setelah
tumbangnya orde baru dan menjadi orde reformasi maka pertumbuhan pendidikan
swasta berkembang dengan pesat. Pada masa orde baru, pendidikan swasta kurang
mendapat perhatian masyarakat. Masyarakat enggan untuk menyekolahkan anaknya di
lembaga pendidikan swasta, mereka menganggap sekolah swasta kualitasnya berada
di bawah sekolah negri dan juga masalah biaya yang lebih mahal.
Perkembangan
pendidikan swasta pada masa sekarang sangat terlihat, terutama di Jawa yang
kita tahu merupakan barometer pendidikan nasional, bahwasanya muncul sejumlah
pergeseran paradigma berpikir orang tua yang tidak ragu lagi untuk
menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Salah satu indikator yang paling
menonjol mungkin adalah banyak bermunculannya institusi pendidikan swasta.
Institusi swasta
tidak kalah kualitasnya dibanding dengan institusi pendidikan negeri. Bahkan
acapkali mengadaptasi kurikulum pendidikan luar negeri yang mungkin dianggap
lebih baik jika dengan kurikulum murni yang diterapkan dari Departemen
Pendidikan. Sebagaimana mekanisme pasar, tentu saja institusi swasta tadi,
makin bagus kualitas pengajarannya maka makin mahal juga ongkos yang harus
dikeluarkan. Yang tentu saja hanya segolongan dari masyarakat dari negeri ini
yang bisa menjangkaunya.
E. Permasalahan
penyelenggaraan pendidikan swasta
Pembiayaan pendidikan menjadi masalah yang sangat
penting dalam keseluruhan pembangunan sistem pendidikan. Uang memang tidak
segala-galanya dalam menentukan kualitas pendidikan, tetapi segala kegiatan
pendidikan memerlukan uang. Oleh karena itu jika performance sistem pendidikan
diperbaiki, manajemen penganggarannya juga tidak mungkin dibiarkan, mengingat
bahwa anggaran mesti mendukung kegiatan. Tidak semua masyarakat Indonesia
sepenuhnya menyadari bahwa biaya pendidikan yang cukup akan dapat mengatasi
berbagai masalah pendidikan, meskipun tidak semua masalah akan dapat dipecahkan
secara tuntas.[6]
Meski dikotomi sekolah negeri swasta sebenarnya
tidak perlu diungkit-ungkit tetapi kenyataannya, sekolah swasta di seluruh
tanah air yang jumlahnya sangat banyak menjadi pihak yang sangat direpotkan
dengan berbagai kebijakan pemerintah.
Semua pihak mengharapkan adanya pendidikan yang berkualitas, namun di sisi lain banyak pihak yang merasa keberatan untuk mengeluarkan dana sebagai sumber pembiayaan pendidikan. Masyarakat berdalih, pendidikan adalah tanggungan Negara. Dan pendapat tersebut tidak salah, terutama dalam pendidikan dasar. UU Sisdiknas dengan jelas mengatur bahwa seluruh warga negara Indonesia berhak mendapat pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Yang merepotkan adalah pemerintah juga melarang sekolah untuk menarik iuran dari peserta didik.
Semua pihak mengharapkan adanya pendidikan yang berkualitas, namun di sisi lain banyak pihak yang merasa keberatan untuk mengeluarkan dana sebagai sumber pembiayaan pendidikan. Masyarakat berdalih, pendidikan adalah tanggungan Negara. Dan pendapat tersebut tidak salah, terutama dalam pendidikan dasar. UU Sisdiknas dengan jelas mengatur bahwa seluruh warga negara Indonesia berhak mendapat pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Yang merepotkan adalah pemerintah juga melarang sekolah untuk menarik iuran dari peserta didik.
Sekolah swasta adalah lembaga pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat (bukan Negara). Penyelenggaraan Sekolah swasta
di Indonesia dilakukan oleh beranekaragam pihak, yaitu: yang memiliki latar
belakang keagamaan, kebudayaan/kedaerahan, sekolah yang diselenggarakan oleh
organisasi wanita dan sekolah yang merupakan bagian dari suatu organisasi besar
dengan beraneka ragam latar belakang pula. Dari perspektif manajemen
penyelenggaraan pendidikan keragaman latar belakang itu berkaitan dengan
kemampuan finansial, kompetensi professional, dan akuntabilitas penyelenggaraan
terhadap pemakai jasa pendidikan. Dalam keragaman itu pula, badan-badan
penyelenggara pendidikan swasta dihadapkan dengan kewajiban mengimplementasikan
salah satu strategi pokok kebijakan pendidikan nasional, yaitu peningkatan mutu
pendidikan sekaligus mengimplementasikan kebijakan pembiayaan pendidikan.
Bab
III
Kesimpulan
Pada hakikatnya
pendidikan merupakan hak dan kewajiban seluruh warga negara, oleh karena harus
ada keseimbangan antara hak dan kewajiban tersebut untuk mendapatkan hasil mutu
pendidikan yang baik. Pemerintah dan masyarakat harus menyadari tugas, hak dan
kewajiban masing-masing untuk menyelenggarakan pendidikan secara sinergis
sehingga tujuan pendidikan nasional dapat tercapai.
Masyarakat atau
elemen swasta sebagai mitra pemerintah mempunyai peranan yang sangat besar
dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan bangsa. Secara
historis pergerakan kemajuan dunia pendidikan Indonesia juga dipelopori oleh
organisasi-organisasi kemasyarakatan. Oleh karena itu pemerintah harus
benar-benar memperhatikan proses dan kebutuhan lembaga pendidikan swasta, tidak
hanya yang negeri saja. Kebijakan pemerintah harus dibenahi lagi untuk
menciptakan kemaslahatan bersama, baik peserta didik maupun pendidik dan
lembaga penyelenggara pendidikan.
Dewasa ini
lembaga pendidikan swasta menjamur di lingkungan masyarakat yang jumlahnya lebih banyak dari pada lembaga
negeri, hal tersebut menunjukkan kesadaran dan tingkat keilmuan masyarakat yang
semakin tinggi dalam pendidikan. Namun realita seperti itu jangan sampai
menggiring kepada suatu pemikiran dan tujuan masyarakat untuk mengkomersialisasikan pendidikan.
Pendidikan swasta harus mempunyai niat ikhlas dalam menyelenggarakan pendidikan
untuk ikut berperan serta dalam mencerdaskan bangsa demi kepentingan bersama,
tidak hanya mengejar materi dan kemudian menjadikan sekolah sebagai industri
untuk mengumpulkan pundi-pundi keuangan mereka.
Daftar Pustaka
Ahmad
Ali riyadi, Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, Yogyakarta :
Ar-ruz, 2006.
Amnur,
Ali Muhdi, Konfigurasi Politik Pendidikan
nasional, Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2007.
Markus
Basuki, Pembiayaan Pendidikan Sekolah
Swasta, http://coramorem.blogspot.com/2010/ 11/
pembiayaan-pendidikan-sekolah-swasta, selasa 30 November 2010.
Sudarmanto,
R. Gunawan. Pembiayaan Pendidikan Pada
Era Otonomi Daerah (Permasalahan dan Prospeknya)
(http://www.blok.unila.ac.id), diakses tanggal 17 Januari 2011.
__________
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
[1] Ahmad Ali riyadi, Menggugat
Birokrasi Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Ar-ruz, 2006), hal. 215
[2]
Amnur, Ali
Muhdi, Konfigurasi Politik Pendidikan nasional,
(Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2007) hal 163
[4] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) hal.
[5]
Markus Basuki,Pembiayaan
Pendidikan SekolahSwasta, http://coramorem.blogspot.com/2010/11/pembiayaan-pendidikan-sekolah-swasta.html, selasa 30 November 2010
[6] Sudarmanto, R. Gunawan. 2010. Pembiayaan Pendidikan Pada Era Otonomi
Daerah (Permasalahan dan Prospeknya) (http://www.blok.unila.ac.id), diakses
tanggal 17 Januari 2011
Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 mengacu pada basis pendidikan keagamaan