PENDIDIKAN SWASTA DALAM SISDIKNAS (Telaah UU No 20 Th 2003 Tentang Sisdiknas : Kebijakan, Implementasi dan Realitas)



Bab I
Pendahuluan

Secara historis, kemunculan pendidikan swasta sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Format awal lembaga ­lembaga pendidikan swasta pada waktu itu lebih bersifat. Pesantren atau yang semisal dengannya (surau, kedah dan lainya) bisa dikatakan sebagai bentuk awal lembaga pedidikan swasta yang bersifat keagamaan, di mana mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Is­lam banyak memanfaatkan lembaga ini sebagai sentra pendidikan (agama). Walau mengambil bentuknya yang tidak formal, keberadaan Pesantren ini sebagai lembaga pendidikan dianggap berhasil dalam menciptakan pribadi­ pribadi yang sadar secara agama dan berhasil membentuk watak masyarakat Indonesia. Namun pada saat itu, pondok pesantren hanya diangap sebagai lembaga pendidikan jalur luar sekolah, sehingga out-put pesantren tidak diakui keberadaannya.[1] Selanjutnya, selain pesantren, lahir pula lembaga pendidikan bernuansakan agama, seperti dari  golongan Islam di antara sekolah yang muncul adalah sekolah pendidikan Muhammadiyah dan Ma’arif. Di lain pihak, juga muncul sekolah-sekolah yang tidak mendasarkan pada asas keagamaan, yaitu antara lain sekolah Kartini dan Taman Siswa. Sekolah-sekolah swasta ini, atas dasar kebijakan Jenderal Van Heutz seorang gubernur pemerintahan penjajah Belanda, kemudian mendapat subsidi dari pemerintah Belanda dengan syarat mematuhi peraturan dan tidak mengganggu ketertiban umum. Sekolah-sekolah swasta (khususnya sekolah/ madrasah berasas Islam yang mendapat restu dari penjajah) pada masa ini mengalami transformasi dan bebas mengekspresikan diri untuk berkembang pada arah yang lebih maju.
Pada masa awal kemerdekaan (tahun 1946-1950), secara umum kondisi dan posisi pendidikan swasta dalam pendidikan nasional tidak jauh berbeda dengan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Menurut laporan Panitia Penyelidik Pengajaran pada waktu itu (1946), pendidikan swasta diperlakukan secara wajar, bahkan dalam hal-hal tertentu disebutkan tanpa ada diskriminasi. Di antara,isi laporan tersebut yang tidak diskriminatif adalah tentang adanya persamaan dalam hal ijazah, di mana ijazah negeri dan swasta tidak dibedakan. Juga, dibolehkannya murid-murid sekolah swasta untuk berpindah atau melanjutkan pelajarannya di sekolah negeri.
Dalam undang-undang no. 4 tahun 1950 pasal 14 tentang subsidi bagi sekolah swasta disebutkan bahwa sekolah swasta dapat menerima subsidi dari pemerintah untuk pembiayaan sekolah dengan syarat­ syarat yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Subsidi ini bisa diberikan seratus persen atau sekedarnya kepada semua jenis dan tingkat sekolah.[2] Namun pada kenyataanya, porsi yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan pendidikan swasta dalam penyelenggaraan pendidikan dan timbul keengganan pihak swasta untuk memanfaatkan subsidi tersebut. 

Bab II
Pembahasan

A.    Pengertian Pendidikan Swasta
Pendidikan Swasta adalah pendidikan sekolah/ madrasah yang diselenggarakan oleh organisasi swasta atau non-pemerintah. Dasar kehadirannya adalah untuk membantu meringankan beban pemerintah dalam usahanya mewujudkan kebutuhan­ kebutuhan hidup masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan swasta ikut berperan aktif sebagai mitra pemerintah dalam mencerdaskan masyarakat dan menyadarkannya akan kebutuhan pengetahuan, sehingga mereka mampu menciptakan kreativitas baik dalam bidang ekonomi, politik maupun kebudayaan.[3]

B.     Tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
1.      Tanggung jawab masyarakat
Pendidikan nasional merupakan tanggung jawab seluruh warga negara  indonesia tidak hanya pemerintah saja, hal tersebut diatur dalam UU No 20 th 2003 tentang SISDIKNAS. Butir-butir yang menyatakan hal tersebut adalah:
a.       Bab I Pasal I (27)    Masyarakat   adalah   kelompok   warga   negara   Indonesia   nonpemerintah   yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
b.      BAB III  Pasal 4  (6) :  Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
c.       BAB IV  Pasal 6 (2)     Setiap    warga    negara    bertanggung    jawab    terhadap    keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Pasal 8 : Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.
Pasal 9 : Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
d.      BAB VI Pasal 16
Jalur,  jenjang,  dan  jenis  pendidikan  dapat  diwujudkan  dalam  bentuk  satuan  pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.[4]
Berdasarkan butir-butir undang-undang diatas, sangat jelas dinyatakan bahwa masyarakat mempunyai hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Masyarakat yang kemudian dapat disebut “swasta” dapat mendirikan suatu lembaga pendidikan sampai kepada proses pengelolaannya.
2.      Peran serta masyarakat (swasta) dalam penyelenggaraan pendidikan
Dengan hak dan tanggung jawab masyarakat akan pendidikan nasional, maka timbul kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam mencerdaskan bangsa dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Pendidikan yang dipelopori oleh masyarakat yang disebut “pendidikan berbasis masyarakat” ini juga yang dikenal dengan pendidikan swasta. Secara historis,pendidikan swasta juga merupakan elemen utama sebagai penggerak pendidikan di Indonesia. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan diatur dalam UU Sisdiknas, yaitu:
a.       Bab XV
Pasal 54
1)      Peran  serta  masyarakat  dalam  pendidikan  meliputi  peran  serta  perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
2)      Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber,  pelaksana,  dan  pengguna  hasil pendidikan.
Pasal 55
1)      Masyarakat berhak  menyelenggarakan  pendidikan  berbasis  masyarakat  pada pendidikan  formal  dan  nonformal  sesuai  dengan  kekhasan  agama,  lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
2)       Penyelenggara  pendidikan    berbasis    masyarakat    mengembangkan    dan melaksanakan   kurikulum   dan   evaluasi   pendidikan,   serta   manajemen   dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
3)      Dana  penyelenggaraan  pendidikan  berbasis  masyarakat  dapat  bersumber  dari penyelenggara,  masyarakat,  Pemerintah,  pemerintah  daerah  dan/atau  sumber  lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4)      Lembaga  pendidikan  berbasis  masyarakat  dapat  memperoleh  bantuan  teknis, subsidi  dana,  dan  sumber  daya  lain  secara  adil  dan  merata  dari  Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
b.      Bab XI Pasal 44
2)      Penyelenggara   pendidikan   oleh   masyarakat   berkewajiban   membina   dan mengembangkan    tenaga    kependidikan    pada    satuan    pendidikan    yang diselenggarakannya.
Dalam bunyi bab XV Pasal 54 ayat 2, masyarakat sebagai sumber dan pelaksana dapat diartikan bahwa masyarakat mempunyai tanggung jawab penuh terhadap pengelolaan pendidikan, seperti dalam operasional teknis, pengadaan sarana maupun pembiayaan.
Pasal 55 ayat 3 kemudian mengatur bahwa pemerintah mempunyai peluang untuk ikut dalam pembiayaan pendidikan berbasis masyarakat. Namun namanya juga peluang tentu bisa iya bisa juga tidak. Sisipan kata “dapat” dalam susunan kalimat tidak memberikan kejelasan dan kesungguhan pemerintah untuk ikut membantu dalam pembiayaan pendidikan berbasis masyarakat. Dalam ayat 4 juga sama, pemerintah menyisipkan kata “dapat” dalam susunan kalimat sebagai alibi untuk angkat tangan dalam urusan tersebut.
Hal tersebut berarti bahwa masyarakat tetap sebagai penanggung jawab utama baik dalam dalam pembiayaan maupun dalam pelaksanaannnya. Hal tersebut juga diperkuat dengan bunyi Bab XI Pasal 44 ayat 2, bahwa masyarakat harus konsisten dan bertanggung jawab atas lembaga pendidikan yang diselenggarakannya.
 
C.     Tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan swasta
a.       Bab IV
                  Pasal 10
Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
(1)  Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  wajib  memberikan  layanan  dan  kemudahan, serta  menjamin  terselenggaranya  pendidikan  yang  bermutu  bagi  setiap  warga negara tanpa diskriminasi.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
b.      BAB VIII
Pasal 34
1)      Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  menjamin  terselenggaranya  wajib  belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
2)       Wajib  belajar  merupakan  tanggung  jawab  negara  yang  diselenggarakan  oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
c.       BAB XI
Pasal 41
(3)  Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  wajib  memfasilitasi  satuan  pendidikan  dengan pendidik    dan    tenaga    kependidikan    yang    diperlukan    untuk    menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
Pasal 44
(3)     Pemerintah    dan    pemerintah    daerah    wajib    membantu    pembinaan    dan pengembangan   tenaga   kependidikan   pada   satuan   pendidikan   formal   yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Bunyi-bunyi ayat-ayat tersebut diatas menyatakan dengan jelas bahwa pemerintah bertanggung jawab dan mempunyai kewajiban terhadap terselenggaranya pendidikan terutama pendidikan dasar 9 tahun. Kali ini pemerintah lebih memberi kejelasan dengan tidak menyisipkan kata “dapat” dalam tanggung jawabnya terhadap pendidikan dasar (wajib belajar 9 Tahun) yaitu pendidikan tingkat SD dan SLTP. Wajib belajar sebagai kewajiban warga negara yang diatur oleh pemerintah menjadi tanggung jawab penuh pemerintah. Hal itu berarti bahwa seluruh penyelenggaraan pendidikan dasar baik yang oleh institusi pemerintah maupun masyarakat menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang bermutu. Tanggung jawab tersebut berarti baik dalam pembiayaan, sarana prasarana, maupun pengadaan atau pembinaan sumber daya manusia (tenaga kependidikan).
Dalam Bab IV pasal 11 ayat 1 dinyatakan bahwa pemerintah maupun pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi, namun dalam kenyataan dilapangan tidak sesuai dengan hal tersebut. Dalam tataran aplikasi, pembiayaan pendidikan dibedakan antara lembaga-lembaga milik Negara (sekolah-sekolah negeri) dan lembaga masyarakat (sekolah-sekolah swasta). Pembiayaan pendidikan antara kedua jenis lembaga itu memiliki karakteristik yang berbeda. Sekolah negeri adalah sekolah milik Negara yang pembiayaannya menjadi tanggung jawab Negara sepenuhnya. Oleh sebab itu akuntabilitas dari kedua jenis lembaga pendidikan tersebut berbeda nuansanya.
Sekolah-sekolah swasta yang sering disebut-sebut sebagai mitra pemerintah dalam pendidikan acapkali mengalami kesulitan serius menyikapi kebijakan pemerintah. Kebijakan BOS yang dibarengi dengan embel-embel dalam rangka mencapai sekolah gratis sungguh merisaukan penyelenggara pendidikan swasta, khususnya yang memiliki keterbatasan daya saing.
Diskriminasi pemerintah juga terjadi seperti dalam pelabelan lembaga pendidikan swasta dengan pemberian status terdaftar, diakui, disamakan dan terakreditasi. Hal itu sangat jelas memberikan persepsi pembedaan tingkat atau status antara sekolah swasta dan negeri. Seharusnya pemerintah memberikan standar kelayakan yang jelas pada tiap-tiap lembaga pendidikan swasta ketika mendirikan dan menyelenggarakan pendidikan.
Realisasi pemerintah sebagai tanggung jawabnya dalam pelaksanaan undang-undang tersebut adalah adanya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan dana program-progam lain yang membebaskan peserta didik dari biaya pendidikan dasar 9 tahun. Namun dana-dana tersebut hanya dianggarkan untuk kegiatan operasional dan kebutuhan peserta didik saja, sedangkan kebutuhan dan kesejahteraan tenaga kependidikan tidak masuk dalam anggaran tersebut. Padahal kesejahteraan guru juga sangat berpengaruh dengan motivasi dan kinerja guru yang menghasilkan mutu pendidikan.
Kebijakan BOS secara umum sangat membantu sekolah dan orangtua murid. Namun kala kebijakan ini langsung dilanjutkan dengan program sekolah gratis maka menimbulkan benturan-benturan di lapangan.Sekolah-sekolah swasta membutuhkan kebijakan khusus berkaitan dengan program BOS jka keberadaannya masih tetap dibutuhkan. Sebenarnya, sekolah-sekolah negeri pun mengalami masalah serupa, terutama ketika mereka tidak boleh menarik iuran sama sekali. Akhirnya di lapangan muncul berbagai trik kebijakan untuk memayungi penarikan iuran. Salah satu yang juga disorot adalah keberadaan sekolah bertaraf Internasional yang diberi keleluasaan menarik iuran. Alhasil, sekolah-sekolah tersebut bersifat eksklusif. Padahal pendidikan adalah hak setiap warga negara.[5]
Hal tersebut menimbulkan kesenjangan dalam kualitas pendidikan. Terutama bagi institusi swasta yang lemah, baik sumber daya manusia maupun dalam pendanaaannya. Berbicara tentang kualitas pendidikan sangat sensitif dengan masalah pendanaan, karena penyelenggaraan pendidikan membutuhkan anggaran yang cukup untuk memenuhi segala kebutuhannya. Bagi institusi pendidikan swasta yang kuat dapat memenuhi kebutuhan dana, baik untuk menunjang sarana prasarana maupun untuk membayar gaji guru dan karyawan. Sedangkan institusi swasta yang lemah hanya bisa bertahan dan menjalankan operasional pendidikan dengan dana BOS yang terbatas.

D.    Lembaga pendidikan swasta dalam kompetisi pendidikan nasional
Setelah tumbangnya orde baru dan menjadi orde reformasi maka pertumbuhan pendidikan swasta berkembang dengan pesat. Pada masa orde baru, pendidikan swasta kurang mendapat perhatian masyarakat. Masyarakat enggan untuk menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan swasta, mereka menganggap sekolah swasta kualitasnya berada di bawah sekolah negri dan juga masalah biaya yang lebih mahal.
Perkembangan pendidikan swasta pada masa sekarang sangat terlihat, terutama di Jawa yang kita tahu merupakan barometer pendidikan nasional, bahwasanya muncul sejumlah pergeseran paradigma berpikir orang tua yang tidak ragu lagi untuk menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Salah satu indikator yang paling menonjol mungkin adalah banyak bermunculannya institusi pendidikan swasta.
Institusi swasta tidak kalah kualitasnya dibanding dengan institusi pendidikan negeri. Bahkan acapkali mengadaptasi kurikulum pendidikan luar negeri yang mungkin dianggap lebih baik jika dengan kurikulum murni yang diterapkan dari Departemen Pendidikan. Sebagaimana mekanisme pasar, tentu saja institusi swasta tadi, makin bagus kualitas pengajarannya maka makin mahal juga ongkos yang harus dikeluarkan. Yang tentu saja hanya segolongan dari masyarakat dari negeri ini yang bisa menjangkaunya.

E.     Permasalahan penyelenggaraan pendidikan swasta
Pembiayaan pendidikan menjadi masalah yang sangat penting dalam keseluruhan pembangunan sistem pendidikan. Uang memang tidak segala-galanya dalam menentukan kualitas pendidikan, tetapi segala kegiatan pendidikan memerlukan uang. Oleh karena itu jika performance sistem pendidikan diperbaiki, manajemen penganggarannya juga tidak mungkin dibiarkan, mengingat bahwa anggaran mesti mendukung kegiatan. Tidak semua masyarakat Indonesia sepenuhnya menyadari bahwa biaya pendidikan yang cukup akan dapat mengatasi berbagai masalah pendidikan, meskipun tidak semua masalah akan dapat dipecahkan secara tuntas.[6]
Meski dikotomi sekolah negeri swasta sebenarnya tidak perlu diungkit-ungkit tetapi kenyataannya, sekolah swasta di seluruh tanah air yang jumlahnya sangat banyak menjadi pihak yang sangat direpotkan dengan berbagai kebijakan pemerintah.
Semua pihak mengharapkan adanya pendidikan yang berkualitas, namun di sisi lain banyak pihak yang merasa keberatan untuk mengeluarkan dana sebagai sumber pembiayaan pendidikan. Masyarakat berdalih, pendidikan adalah tanggungan Negara. Dan pendapat tersebut tidak salah, terutama dalam pendidikan dasar. UU Sisdiknas dengan jelas mengatur bahwa seluruh warga negara Indonesia berhak mendapat pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Yang merepotkan adalah pemerintah juga melarang sekolah untuk menarik iuran dari peserta didik.
Sekolah swasta adalah lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (bukan Negara). Penyelenggaraan Sekolah swasta di Indonesia dilakukan oleh beranekaragam pihak, yaitu: yang memiliki latar belakang keagamaan, kebudayaan/kedaerahan, sekolah yang diselenggarakan oleh organisasi wanita dan sekolah yang merupakan bagian dari suatu organisasi besar dengan beraneka ragam latar belakang pula. Dari perspektif manajemen penyelenggaraan pendidikan keragaman latar belakang itu berkaitan dengan kemampuan finansial, kompetensi professional, dan akuntabilitas penyelenggaraan terhadap pemakai jasa pendidikan. Dalam keragaman itu pula, badan-badan penyelenggara pendidikan swasta dihadapkan dengan kewajiban mengimplementasikan salah satu strategi pokok kebijakan pendidikan nasional, yaitu peningkatan mutu pendidikan sekaligus mengimplementasikan kebijakan pembiayaan pendidikan.


Bab III
Kesimpulan


Pada hakikatnya pendidikan merupakan hak dan kewajiban seluruh warga negara, oleh karena harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban tersebut untuk mendapatkan hasil mutu pendidikan yang baik. Pemerintah dan masyarakat harus menyadari tugas, hak dan kewajiban masing-masing untuk menyelenggarakan pendidikan secara sinergis sehingga tujuan pendidikan nasional dapat tercapai.
Masyarakat atau elemen swasta sebagai mitra pemerintah mempunyai peranan yang sangat besar dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan bangsa. Secara historis pergerakan kemajuan dunia pendidikan Indonesia juga dipelopori oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan. Oleh karena itu pemerintah harus benar-benar memperhatikan proses dan kebutuhan lembaga pendidikan swasta, tidak hanya yang negeri saja. Kebijakan pemerintah harus dibenahi lagi untuk menciptakan kemaslahatan bersama, baik peserta didik maupun pendidik dan lembaga  penyelenggara pendidikan.
Dewasa ini lembaga pendidikan swasta menjamur di lingkungan masyarakat yang  jumlahnya lebih banyak dari pada lembaga negeri, hal tersebut menunjukkan kesadaran dan tingkat keilmuan masyarakat yang semakin tinggi dalam pendidikan. Namun realita seperti itu jangan sampai menggiring kepada suatu pemikiran dan tujuan masyarakat  untuk mengkomersialisasikan pendidikan. Pendidikan swasta harus mempunyai niat ikhlas dalam menyelenggarakan pendidikan untuk ikut berperan serta dalam mencerdaskan bangsa demi kepentingan bersama, tidak hanya mengejar materi dan kemudian menjadikan sekolah sebagai industri untuk mengumpulkan pundi-pundi keuangan mereka.


Daftar Pustaka

Ahmad Ali riyadi, Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, Yogyakarta : Ar-ruz, 2006.

Amnur, Ali Muhdi, Konfigurasi Politik Pendidikan nasional, Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2007.

Markus Basuki, Pembiayaan Pendidikan Sekolah Swasta, http://coramorem.blogspot.com/2010/ 11/ pembiayaan-pendidikan-sekolah-swasta, selasa 30 November 2010.

Sudarmanto, R. Gunawan. Pembiayaan Pendidikan Pada Era Otonomi Daerah (Permasalahan dan Prospeknya) (http://www.blok.unila.ac.id), diakses tanggal 17 Januari  2011.

__________ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,  (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)




[1] Ahmad Ali riyadi, Menggugat Birokrasi Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Ar-ruz, 2006), hal. 215
[2] Amnur, Ali Muhdi, Konfigurasi Politik Pendidikan nasional, (Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2007) hal 163
[3] Ibid hal.  159

[4] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,  (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) hal.
[5]  Markus Basuki,Pembiayaan Pendidikan SekolahSwasta, http://coramorem.blogspot.com/2010/11/pembiayaan-pendidikan-sekolah-swasta.html, selasa 30 November 2010
[6] Sudarmanto, R. Gunawan. 2010. Pembiayaan Pendidikan Pada Era Otonomi Daerah (Permasalahan dan Prospeknya) (http://www.blok.unila.ac.id), diakses tanggal 17 Januari  2011

1 Response to "PENDIDIKAN SWASTA DALAM SISDIKNAS (Telaah UU No 20 Th 2003 Tentang Sisdiknas : Kebijakan, Implementasi dan Realitas)"

  1. Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 mengacu pada basis pendidikan keagamaan

Posting Komentar

Powered by Blogger