KEBENARAN; SUATU PROBLEMA FILSAFAT PENGETAHUAN


BAB I
LAHIRNYA PENGETAHUAN BENAR

Pada dasarnya manusia selalu ingin mengetahui (Aristoteles dalam tulisannya Metafisika), yaitu mengetahui segala sesuatu yang ada di sekeliling dirinya. Ini merupakan langkah awal manusia untuk memperoleh pengetahuan. Banyak hal terlibat pada saat manusia mengenal sesuatu baik dirinya sendiri maupun hal-hal di luar dirinya. Hal yang terlibat itu minimal adalah alat yang ada pada dirinya sendiri, alat itu adalah indera, rasio, intuisi,  dan keyakinan (faith). Di samping itu juga ada hal yang melekat pada diri subjek yaitu kepercayaan (believe). Sesuatu yang mempengaruhi subjek, karena ia datang dari luar yaitu revelasi (wahyu) dan pengetahuan yang di sampaikan oleh pemegang otoritas (misalnya orang tua terhadap anak-anaknya, guru terhadap muridnya, pejabat terhadap bawahan dan rakyatnya dan seterusnya). Selain itu, hal yang melekat pada diri subjek adalah kesadaran. Kesadaran adalah aktivitas kejiwaan yaitu interaksi akal, rasa, dan kehendak yang mengolah semua informasi yang masuk ke dalam diri subjek,  
             Pengetahuan lahir dari aktivitas subjek yang sadar terhadap semua informasi yang masuk dalam diri subjek atau yang dikenal dan ingin dikenal oleh subjek. Pengetahuan yang lahir di dalam dirinya sudah terdapat kebenaran, dan memang setiap pengetahuan yang di kuak oleh seseorang di dalamnya telah terkandung kebenaran. Hospers menyatakan pangetahuan mesti benar (1967) Jadi isi pengetahuan selalu benar, atau dengan kata lain pengetahuan adalah pengetahuan yang benar. Kesalahan terjadi dan hanya terjadi  karena informasi yang diterima melalui otoritas sudah mengandung kesalahan—misalnya, informasi dari orang tua tidak lengkap, dari guru kurang memadai, dari pejabat tidak sesuai dengan fakta, dan lain-lain—atau, indera subjek tidak normal  —misalnya buta warna, gangguan pendengaran dan lain-lain—. Atau, penalaran seseorang itu tidak mengikuti norma-norma logika yang benar —tidak mengikuti hukum penyimpulan logika, dan aturan berpikir runtut lainnya.
            Di dalam diri subjek di samping alat-alat (tools) yang melekat pada diri subjek, terdapat sikap yang melekat pada subjek, pada saat subjek menghadapi objek pengeta-huan. Terdapat sikap realistik terhadap objek yang di amati, sikap ini bertolak pada paham realisme metafisis yang berpendapat bahwa objek metafisika dan pengetahuan metafisika berpangkal pada objek ada yang real (actual being). Objek demikian haruslah konkret keberadaannya, objek itu di cerap atau dipersep oleh indera. Objek cerapan indera berupa objek konkret secara langsung atau tidak langsung melalui empiri (dapat berupa pengalaman indera dan atau pengalaman bathin). Paham epistemologi yang  bertumpu pada sikap terhadap objek sebagaimana dikemukakan adalah paham realisme epistemologis atau paham empirisme—dapat empirisme lunak seperti John Locke atau empirisme keras sebagaimana dikemukakan oleh Ayer.
           Sikap subjek yang lain adalah sikap idealistik yang bertolak pada paham idealisme metafisika. Objek yang bertolak pada sikap ini keberadaannya abstrak, sehingga untuk menangkap atau memahami objek itu melalui reason atau rasio. Objek diandaikan hadir dalam kesadaran subjek (bahkan objek telah hadir dalam diri subjek sejak manusia lahir —innate ideas—). Sikap subjek yang bertumpu pada sikap yang demikian melahirkan paham rasionalisme epistemologis. Paham ini dikembangkan oleh Réne Descartes, Spinoza, Bradley dan lainnya.
          Sikap subjek yang lainnya adalah sinergi antara indera dan rasio, sehingga objek dipahami sebagai objek yang fenomenal. Objek demikian dapat dicerap oleh indera atau dicerap rasio atau juga dicerap secara bersamaan antara indera dan rasio. Immanuel Kant dan para penganut paham fenomenologi melihat objek sebagaimana dikemu-kakan.
            Bertolak dari uraian di atas, terdapat tiga jenis pengetahuan dalam aktifitas manusia yang mengetahui, yaitu pengetahuan indera dan atau pengetahuan empirik, pengetahuan rasional (nalar), dan pengetahuan yang sifatnya fenomenalistik, seimbang antara kegiatan indera dan kegiatan penalaran. Pertama, pengetahuan empirik. Pengetahuan ini telah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles. Plato menjelaskannya melalui teori the allegories of the cave. Plato membagi jenis pengetahuan menjadi 4 macam yaitu pengetahuan eikasia atau pengetahuan khayali atau pengetahuan ilusi. Pengetahuan ini adalah pengetahuan orang kebanyakan atau biasa disebut juga sebagai pengetahuan keseharian (ordinary knowledge). Pengetahuan jenis kedua adalah pengetahuan substantif  pengetahuan faktual yang dapat  diinderai secara langsung. Aristoteles mengatakannya objek pengetahuan yang demikian adalah objek yang common sensible atau sensus comunis. Pengetahuan ketiga adalah pengetahuan matematis, pengetahuan ini adalah abstraksi dari objek faktual, pengetahuan ini semacam sketsa secara terukur dari objek yang dihadapi. Pengetahuan keempat adalah pangetahuan yang sesungguhnya atau pengetahuan essoterik, yaitu pengetahuan abstrak tentang sesuatu objek. Pengetahuan semacam ini terdapat di dalam dunia ide atau dunia pikiran semata pengetahuan ini disebut noesis atau episteme. Keempat macam pengetahuan sebagaimana dikemukakan oleh Plato bertolak pada objek konkret. Pengetahuan yang ada dalam dunia ide hanya ada manakala subjek pernah mempersep objek dalam pengalamannya, artinya pengetahuan ide lahir karena subjek telah memiliki kesan tentang objek, sebagai contoh seseorang (subjek) memiliki pengetahuan tentang kuda, setelah subjek mempersep kuda sebagaimana adanya apakah kuda poni, kuda sumba, kuda cowboy dan lainnya. Teori Plato mempengaruhi persepsi murid-muridnya termasuk Aristoteles. Aristoteles di dalam tulisanya On the Soul dan On Remember berpendapat bahwa objek adalah objek yang dapat dicerap secara langsung (direct comprehension menurut Moore) dan dapat diketahui oleh banyak orang. Itu sebabnya, objek yang demikian oleh Aristoteles disebut sebagai objek yang common sensible atau communis sensus. Pengetahuan  yang diperoleh sifatnya explanatory principle harus dibuktikan secara logis melalui logika deduktif dibuktikan dengan mengacu kembali kepada objek pengetahuan yang common sensible.
           Pada Jaman Modern lahir teori pengetahuan yang dikembangkan oleh John Locke dan David Hume yang bertolak pada empiri. Di samping Locke lahir pula pengetahuan yang bertumpu pada rasio sebagaimana dikembangkan oleh Réne Descartes. Dan, yang berikutnya adalah Immanuel Kant yang berusaha menyelesaikan dua pendapat yang berbeda, yaitu bahwa untuk memperoleh pengetahuan yang benar dengan akal murni dan akal praktis. Pada Jaman  Kontemporer kelahiran teori pengeta-huan sangat pesat dan beragam.       

Oleh. Abbas Hamami

0 Response to "KEBENARAN; SUATU PROBLEMA FILSAFAT PENGETAHUAN"

Posting Komentar

Powered by Blogger