BAB II: MAKNA PENGETAHUAN BENAR
Manakala seseorang mempertanyakan dan
hendak menegaskan apakah pengetahuan yang ia peroleh memiliki kebenaran ataukah
tidak. Menurut para ahli epistemologi dan para filusuf umumnya untuk
membuktikan bahwa pengetahuannya bernilai benar, maka orang yang memiliki pengetahuan
itu harus melihat dan memeriksa terlebih dahulu bagaimana ia membentuk,
memperoleh, atau memiliki pengetahuan itu. Apakah ia memperolehnya dengan melihat atau menginderai atau ia melalui
kewibawaan seseorang (melalui otoritas) atau melalui keyakinannya. Atau mungkin
juga ia memperolehnya melalui penalaran baik pemikiran deduktif maupun
induktif. Kemudia harus diperiksa juga sikap subjek pada saat ia membangun
pengetahuan itu. Sikap ini adalah sikap ontologis terhadap objek yang
dihadapinya. Apakah ia bertumpu pada paham spiritualisme metafisik ataukan ia
bertolak pada paham materialisme metafisik. Lain daripada itu, juga harus
memeriksa sarana apa yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan itu. Apakah
subjek menggunakan indera, rasio, intuisi, keyakinan atau percaya pada pemegang
kewibawaan. Sebagaimana dipaparkan pada bagian awal tulisan ini, tampak bahwa
terjadinya pengetahuan dapat karena aktivitas indera, rasio, intuisi, atau keyakinan,
serta dari revelasi atau melalui otoritas seseorang (Hospers,1967). Atau, dapat juga karena subjek sangat terikat
pada objek (Empiristik), atau objek yang masuk atau diandaikan ada dalam kesadaran
subjek (Rasionalistik), atau menempatkan keseimbangan antara subjek dan objek
(Fenomenalisme dan Fenomenologi). Masing-masing cara memperoleh pengetahuan itu
memerlukan cara pembuktian kebenaran yang berbeda pula. Bahkan, jika Anda
termasuk seorang yang meragukan alat, sumber, dan cara untuk memperoleh
pangetahuan sebagaimana Pyrrho dan Sextus Empiricus serta para penganut
Shopisme dan Skeptisisme baik yang keras
atau yang lunak tak ada kebenaran kecuali keraguan.
Kata kebenaran dapat digunakan
sebagai suatu kata benda yang konkret dan yang abstrak. Perlu diperhatikan
bahwa manakala seseorang ingin membuktikan penge-tahuan maka ia perlu memahami
apakah realitas pengeta-huan itu. Pengetahuan adalah hasil aktivitas manusia—subjek
yang sadar—(karena ada hubungan) dengan objek yang ingin dikenal. Pengetahuan
dalam realitas sebagai benda yang actual
being dapat berupa pernyataan (statement),
atau benda budaya (hasil aktivitas budaya), atau perilaku subjek mengetahui.
Maka pada saat subjek hendak membuktikan
pengetahuan apakah pengetahuan itu mengandung kebenaran atau sebaliknya
kekhilafan, Subjek harus memahami dulu realitas pengetahuan itu. Kandungan pernyataan,
makna budaya, serta perilaku subjek yang mengetahui dalam suatu proposisi.
Proposisi adalah kandungan makna yang tersirat dalam pengetahuan (pernyataan,
budaya, dan perilaku subjek).
Hal lain yang perlu diperhatikan juga
adalah kualitas pengetahuan (apakah pengetahuan kita itu penge-tahuan
keseharian dan non ilmiah, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafati, atau
pengetahuan relijius). Masing-masing pengetahuan itu memiliki cara dan sifat
kebenaran sendiri sesuai dengan karakter pengetahuan itu. Atau juga, sifat
pengetahuan itu apakah empiristik, rasionalistik, atau fenomenalistik, serta
fenomenologik. Serta, hubungan dan nilai pengetahuan itu terfokus pada subjek,
objek, atau seimbang antara subjek dan objek. Hal itu dapat dipahami, karena
sesungguhnya suatu atau nilai kebenaran pengeta-huan amat tergantung pada atau
berkaitan erat dengan kualitas, sifat,
dan hubungan itu, sehingga pengetahuan tak dapat begitu saja melepaskan diri.
Di dalam hal kualitas pengetahuan,
kita dapat melihat arasy pengetahuan apakah pengetahuan keseharian (ordinary knowledge) dapat berupa
pengetahuan biasa atau pengetahuan non ilmiah, pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) pengetahuian
filsafati (philosophical knowled-ge),
dan pengetahuan relijius (religious
knowledge). Masing-masing pengetahuan memiliki sifat kebenaran dan cara
membuktikannya secara mandiri.
Pengetahuan non ilmiah memiliki sifat
dan cara pembuktiannya sendiri. Sifatnya amat terikat kepada subjek yang mengetahui
dan pembuktian atau pengyaannya dengan mengacu secara langsung terhadap objek
dan subjek yang mengetahui. Hal ini, sangat berbeda dengan pengetahuan ilmiah,
dimana pengetahuan ini baik ilmu sosial (social
sciences) maupun ilmu kealaman (natural
sciences) akan mengejar objektivitas empirik. Dengan demikian, suatu
kebenaran pengetahuan ditunjukkan oleh objek nyata secara empirik, walaupun
demikian pasti memiliki perbedaan, karena masing-masing ilmu menggu-nakan
metoda yang satu dengan lainnya berbeda. Berbeda dengan pengetahuan filsafati yang
memiliki sifat intersub-jektif, karena dalam bidang filsafat sangat sulit untuk
menunjukkan hakikat pada ujud yang konkret, sehingga memerlukan kesepakatan di
antara para pemikir itu. Sebagai contoh teori Aristoteles memerlukan pengyaan (assertion) dari pemikir-pemikir yang
memiliki cara persepsi yang sama atau hampir sama, dan tak mungkin di yakan
oleh pengguna metodologi berpikir yang berbeda apalagi bertentangan. Lain
halnya, jika membicarakan kebenaran pengetahuan keagamaan. Sikap panatisme dan
dogmatisme agama akan mempengaruhi sifat kebenaran pengetahuan keagamaan yang
dimiliki oleh subjek tertentu. Satu subjek dengan subjek lain yang berbeda
keyakinan keagamaan tak perlu mengadakan pembenaran secara universal.
Manakala melihat pengetahuan dari
sifat kebenaran, maka perlu dipilahkan terlebih dahulu apakah sifat pengetahuan
itu sifatnya kemestian, keharusan, atau kebetulan. Sifat ini amat tergantung
pada sifat metafisis keberadaan objek yang diketahui. Misalnya rakyat dan
wilayah merupakan sifat yang harus ada pada eksistensi suatu negara. Apabila
kita tahu ada negara X misalnya, maka kita dapat memikirkan bahwa ada rakyat
dan wilayah dari negara X tersebut, oleh karena itu, tiada negara tanpa rakyat
dan wilayah dimana rakyat itu berada. Tetapi, pemerintahan adalah sifat mesti
pada suatu negara, serta bentuk negara apakah republik atau lainnya adalah
merupakan sifat kebetulan. Atau contoh lain, semula jumlah tiga sudut suatu
segi tiga 180'. Pada saat pendapat bahwa bumi ini datar sebagaimana terjadi
pada masa Yunani kuno, maka pendapat itu merupakan sifat mesti. Akan tetapi,
setelah pendapat tentang bumi itu berubah maka konsep jumlah tiga sudut pun
berubah pula menjadi sifat kebetulan. Dengan demikian, kebenaran pengetahuan
yang sifatnya objektif perlu mendapat pembenaran dari mereka yang memiliki
latar belakang ilmu yang sebidang. Ini merupakan konvensi di antara para ahli
yang sebidang.
0 Response to " BAB II: MAKNA PENGETAHUAN BENAR "
Posting Komentar